Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Rabu, 26 Februari 2020

Kapitalisasi Pendidikan di 'Negara Makmur'


Penulis : Karmila (Mahasiswa Bima)

Inside Pos,-

Pendidikan Nasional sebagai komoditas semakin hari semakin masif menuju puncak liberalisasi dan telah menghancurkan kualitas tenaga-tenaga produktif serta telah menciptakan budaya baru yang kapitalistik.

Wajah liberalisasi pendidikan hari ini memang sudah di persiapkan dari jauh-jauh hari. Dimana kepentingan kapitalisme (internsional maupun nasional) untuk menjadikan pendidikan sebagai barang jasa yang dapat menghasilkan surplus value.

Keputusan liberalisasi pendidikan ditetapkan di tengah angka buta huruf dan putus sekolah yang masih tinggi di Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, sejalan dengan logika ekonomi kapitalisme, pendidikan hanya akan menjadi barang komersial yang jauh dari upaya  pemenuhan hak konstitusi rakyat atas pendidikan yang bermutu dan berkualitas oleh Negara.

Jelas hal itu bertentangan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Alinea keempat bahwa negara mempunyai kewajiban untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pada Undang-undang SISKDIKNAS tahun 2003 terlihat jelas lepasnya tanggungjawab negara, dimana warga negara harus bertanggungjawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan (pasal 6:2).

Usaha pemerintah untuk lebih memasifkan liberalisasi pendidikan terbukti setelah di keluarkan RUU PT yang sudah di sahkan menjadi UU PT pada tanggal 13 Mei 2012, dengan UU PT ini  Negara secara jelas hendak mengalihkan dan melepaskan tanggungjawabnya dengan memberikan beban penyelenggaraan pendidikan terhadap rakyat, yaitu ikut menentukan kompetensi lulusan melalui organisasi pelaku usaha, ikut mendanai Pendidikan Tinggi dan dapat mendirikan perguruan tinggi (pasal 10).

Berkaitan dengan pendanaan perguruan tinggi lagi-lagi dibebankan kepada rakyat (pasal 23:1), sehingga untuk mendapat pendidikan rakyat harus membayar dengan uang tidak sedikit. Kemudian perguruan tinggi juga dapat menggalang dana melalui penelitian, bekerjasama dengan industri (pasal 23:3). Artinya pendidikan sudah semakinnya nyata sebagai ladang ekspansi bagi kaum modal. Tampak jelas pada paragraf pendanaan, bahwa pendanaan perguruan tinggi diperoleh memalui kerjasama, salah satunya dengan dunia industri (pasal 92:1).

Kebobrokan sistem pendidikan nasional (SPN) bisa kita lihat contoh sampel diberbagai kampus yang ada di Indonesia, dari permasalahan sarana dan prasaran,kekurangan sarana dan prasarana,selain itu tenaga pendidik, maupun kurikulum, itu tidak pernah manpu terjawab oleh sistem kapitalisme untuk mengarah kependidikan yang ilmiah.

Hal ini nyata dapat dilihat dari masifnya tingkat mutu yang tidak menjamin kualitas sarana daan prasarana diberbagai PTS pada umumnya,yang lebih notaben mahal pembayarannya ketimbang PTN. Hal ini dapat dilihat dalam kondisi perguruan tinggi swasta di Bima, berbagai kampus di bima masih sangat jauh dari pengadaan sarana dan prasarana yang memadai kemajuan suatu pendidikan nasional yang dicita citakan.

Konon katanya suatu pendidikan akan bermutu ketika disokong dana dari investor, namun pada kenyataanya pendidikan semakin melahirkan masalah yang tak terselesaikan.

Kenaikan biaya pendidikan yang terus merangkak tidak diimbangi oleh jaminan kualitas pendidikan yang layak namun hanya akan menguntungkan pihak-pihak terkait.kenaikan biaya pendidikan juga dapat kita lihat di beberapa kampus swasta di kota Bima,sementara kampus kampus dipelosok kota ini belum mampu bersaing dengan kampus kampus di kota kota besar, menurut kualitas maupun kuantitas pendidik maupun peserta didiknya.

Walaupun pada nyatanya tiap tahun di kampus kampus swasta kota Bima  sering menaikan biaya tarif pendidikan. Hal ini tidak seimbang dengan penguasaan yang kapitalistinya dunia pendidikan, dimana kapitalisme sama sekali tidak bisa menjawab kemajuan pendidikan yang di impikan dalam UUD 1945.

 Sebagai Perwujudan demokratisasi kampus, Mahasiswa di  perguruan tinggi swasta (PTS) kota bima yang merupakan investor terbesar bagi kampus seakan-akan dilupakan kebutuhan dasarnya untuk menikmati pendidikan yang ilmiah sebagai jaminan kualitas manusia dalam menempuh masa depannya.

Misalnya, seringnya dosen tidak masuk dan tidak profesionalnya seorang pendidik (sebagian besar S1), akreditasi jurusan yang tidak terpenuhi menyebabkan seorang mahasiswa tidak memiliki jaminan tentang gelar yang disandangnya sedangkan mahasiswa telah mengeluarkan dana yang cukup besar.

Belum lagi fasilitas pendukung seperti laboratorium yang tidak ada dan tidak lengkap peralatannya serta perpustakaan yang sangat kurang dengan judul buku. Namun hal itu tidak pernah diperhatikan oleh birokrasi kampus yang korup dan kemudian menutup rapat-rapat dan sibuk mempersiapkan inventaris seperti sarana dan prasarana untuk memperlancar masuknya modal asing maupun lokal yang akan memeras mahasiswa secara langsung dan penghisapan terhadap rakyat Indonesia yang masih berkutat dengan himpitan ekonomi.

Walaupun pada pengakuan mahasiswa di perguruan tinggi swasta kota bima tetap membayar uang pembangunan diwaktu pertama masuk kampus, dan sangat tidak urgensi ketika yang dilihat terkait dengan sarana dan prasana kampus tidak ditingkatkan sama sekali.

Jelas uang yang masuk hanya dijadikan lahan basa bagi birokrasi kampus. Dan pendidikan nasional akhirnya menjadi kegiatan komoditi yang tiada henti.

Proses kapitalisasi dunia pendidikan semakin menjauhkan mahasiswa dari hak-hak dasarnya  Dengan lahirnya BLU 2009, telah memarjinalkan mahasiswa dari sarana kampus yang seharusnya diperuntukan untuk kegiatan kemahasiswaan, penyewaan terhadap aset kampus adalah suatu pelanggaran terhadap hak-hak normatif mahasiswa akan aset-aset kampus.

Kegiatan kemahasiswaan tersingkirkan ketika aset tersebut telah disewakan untuk kepentingan umum, padahal mahasiswa lah yang memiliki hak penuh atas aset-aset  tersebut karena mahasiswa merupakan pemegang saham terbesar di kampus. Lagi ditambah dengan keluarnya PP no. 66 2010 yang menyerahkan sepenuhnya pendidikan ketangan swasta (swastanisasi) yang tentu hanya akan dinikmati oleh orang-orang yang sebagian kecil yang memiliki modal dan menggugurkan keinginan masyarakat Indonesia yang sebagian besar petani dan buruh miskin untuk memperoleh pendidikan sebagai hak warga negara seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 sebagai jalan keluar bagi rakyat Indonesia dari alam kebodohan dan kemiskinan.

Tentu saja liberaliasi dan globalisasi yang kejam ini mau tidak mau, perlulah untuk memahami pertama kali secara kuantitatif terhadap peluang dan kesempatan rakyat dalam memperoleh hak pendidikan untuk bersekolah yang seharusnya menjadi tanggung jawab Negara, malah kenyataanya Rezim yang berkuasa Jokowi-Amin terus berlari kencang meninggalkan tanggung jawabnya

karena nilai-nilai yang berkembang dalam prakteknya Kapitalisme nanti hanyalah berorientasi penumpukan modal dan pengembangan modal yang akan di pertahankan mati-matian dalam di tengah iklim revolusi industry 4.0 yang berkembang tidak adil karena monopolistik atas kekuasan pasar. Disitulah kita semua pada masa yang akan datang melihat kenyataan kongkrit dengan gamblang bahwa sesungguhnya wajah dunia pendidikan nasional di era revolusi industry 4.0 dengan pasar bebasnya yang meminggirkan nilai kemanusian yang hakiki.

Sekali lagi kita tidak bisa menutup mata bahwa atas fakta yang menunjukkan bahwa angka kemiskinan dan penganguran mencapai lebih kurang 40 Juta Jiwa, sebuah angka yang cukup fenomenal, kondisi itu berpeluang memunculkan kebodohan. Betapa tidak, saat ini biaya pendidikan di Indonesia tidak pernah gratis alias sangat mahal dan otomatis semakin memberatkan beban hidup rakyat Indonesia khususnya rakyat kota dan kabupaten bima yang hanya lahir dari Rahim petani dan buruh tani.


                                                                                         

Kamis, 21 Februari 2019

Mental Hukum Kita! DPO Pembunuh ‘Dewa’ Lolos Tes TNI

ILUSTRASI
Opini
Penulis: Syuryadin, S.Pd.I
Wartawan lokal Bima

Bima, Inside Pos,-

Tiba-tiba seorang ibu teriak histeris, "Dewa....oh..Dewa...Tunggu Ibu Nak" teriak Rohani. Ternyata wanita Paru Baya ini, baru saja mendapatkan telepon dari keluarganya, jika anak sulungnya merenggang nyawa ditangan sekelompok pemuda desa. Isunya, Perilaku keji itu dilatarbelakangi motiv dendam.

Kejadian Nahas menimpa Dewa itu terjadi pada dua tahun silam, tepatnya  pada kamis, 29-6-2017 di Desa Kamunti Kecamatan Donggo. Hari itu, Isteri almarhum tengah hamil tua dan kini anaknya  dilahirkan tanpa seorang ayah alias yatim.

Dalam tragedi berdarah itu, Salah seorang pelaku, M. Ark (inesial) berhasil ditekuk Polisi di Wilayah Kecamatan Bolo. 5 Jam setelah pembunuhan terjadi pada hari yang  sama. Satu dari sejumlah pelaku pembunuhan  ini akhirnya diadili dan divonis dengan 15 Tahun penjara.

Kemana Pelaku Lain? Dalam tahap penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan yang tercatat dalam BAP Kepolisian Resort Bima (Polres Bima), Ada sejumlah nama pelaku yang masih buron, Diantaranya, MRF, MJN alias Habe, SHL, SG (Inesial, Red).

Dua Tahun kasus berlalu. Namun penuntasan kasus yang membuat Shida isteri Dewa, diselimuti perasaan  berharap belum menemukan titik terang. Janda muda ini, berharap adanya hukum berkeadilan baginya dengan sang anak yang masih usia balita. Ia sangat ingin melihat jelas wajah para pelaku pembunuh keji atas suaminya. Pentingnya supremasi hukum ditegakkan. Shida sepertinya tidak ingin ada api  dendam, kelak sang anaknya besar setelah tahu bapaknya dibunuh ditengah jalan oleh sekelompok pemuda yang bringas.

Belum lama ini, beredar kabar jika dua dari DPO pembunuh (MFR, MJN, Red) didiga kuat telah berhasil lolos dalam seleksi rekrutmen Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat (TNI-AD) 2018 lalu. Setelah ditelusuri, akhirnya diperoleh kabar jika MRF sedang bertugas diwilayah Sulewesi Selatan dan MJN sedang melaksanakan pendidikan awal masuk TNI diwilayah Kalimantan Barat tepatnya  di Rindam   XII TanjungPura, Sedau Singkawang.
Kabar ini jelas tidak mengenakkan ditelinga keluarga besar Almarhum Dewa. beberapa langkah untuk kepastian hukum para DPO tersebut ditempuh. Diantaranya mendatangi pihak Polres Bima bahkan bertemu langsung dengan Kapolres dan penyidiknya. Dari pertemuan itu,pihak keluarga belum mendapatkan kepastian dan rasa puas.

Bahkan lucunya, Penyidik yang tangani kasus Dewa beberapa waktu lalu meminta Barang Bukti berupa baju yang dikenakan Dewa saat  insiden berlangsung. Sikap penyidik yang diketahui bernama Widodo itu, membuat  keluarga  kebingungan karena 2 tahun kematian dewa, baru saat ini barang bukti diminta pada keluarga. apakah tidak lucu  wajah dan mental hukum kita seperti ini?

Kasus kematian Dewa menjadi salah satu sampel lemahnya penuntasan kasus hukum yang dianggap luar biasa. Bahkan Mental hukum kita sulit memberikan rasa keadilan bagi korban dan keluarganya. Penanganan kasus yang bertele-tele ini diduga ada indikasi ‘Main Mata’ antara keluarga pelaku dengan oknum penyidik.
Dugaan konspirasi dalam kasus pembunuhan di Kecamatan Donggo tersebut  diperkuat dengan lolosnya dua pelaku yang  sudah status DPO menjadi prajurit TNI.  Bagaimana mungkin seorang DPO dapat lolos secara administrasi jika tidak ada pihak yang mempermudahkannya.

Jika Aparat mau serius tuntaskan kasus ini, Pemerintah Desa Doridungga Kecamatan Donggo (Alamat DPO, red), Kantor Cacatan Sipil dan Kependudukan Kabupaten Bima, Polres Bima, dapat dimintai keterangan soal lolos administrasi DPO kasus pembunuhan dalam rekrutmen TNI.

Selanjutnya, Dalam penuntasan kasus  pembunuhan ini, ada harapan besar dari keluarga korban agar sejumlah DPO segera  ditangkap dan diproses. Jika tidak selesaikan secara  hukum, kedepannya sangat  dikhawatirkan akan memicu adanya  konflik horizontal dikalangan masyarakat di Donggo.

Untuk publik ketahui, sejak tragedi berdarah terjadi, akses kebutuhan air bersih di Desa Doridungga mengalami kendala. Ini diakibatkan lantaran Saluran Pipa Air berasal dari Desa O.o. Dalam hal ini juga, pemerintah daerah dibawah kendali Hj. Indah Damayanti Putri SE, terkesan tidak peduli.

Sejak kasus terjadi belum ada langkah-langkah konkrit dari unsur Muspida dan Muspika membahas secara serius terkait masalah kematian Dewa. Terutama aspek penegak hukum agar secara dituntaskan. Lagi-lagi, soal ini PemKab Bima belum mampu mewujudkan slogan Bima Ramah secara maksimal. Ada semacam pembiaran oleh institusi dalam kasus ini.

Bahkan kabarnya saat ini orang tua Dewa sudah melaporkan ke Mabes Polri-Jakarta, Fahrir terkait terlambatnya penanganan kasus pembunuhan yang menewaskan anak kandung. tidak hanya kehilangan nyawa, namun keluarga ini juga banyak mengalami kerugian secara materi untuk mencari keadilan dalam pembunuhan ini. tapi bagi mereka, materi bukan soal, proses hukum yang berkeadilan itu menjadi hal yang terpenting.

Terakhir, penulis ingin sampaikan kepada aparat agar hukum dijadikan panglima.  Jadikan hukum kita tumpuan harapan bagi pencari keadilan di Bumi Pertiwi ini agak supaya berfaedah bagi bangsa dan negara. Hukum diharapakan agar mampu memberikan rasa keadilan dan kepercayaan publik. Tidak diperjualbelikan. Bisa saja hari ini Dewa yang terbunuh, siapa tahu dibelakang hari, justru sanak keluarga kita sendiri yang terbunuh. Saat itulah kita dapat merasakan kesedihan dan kehilangan seperti yang dirasakan keluarga dewa.

***