Senin, 22 April 2024

Sirkulasi Elite Mandeg, Praktek Gerontokrasi Politik Hantui demokrasi Indonesia

Dr. Alfisahrin, M.Si

Mataram, Inside Pos,-

 Memotret Rivalitas dan Hegemoni  kaum Tua Terhadap Generasi Muda Dalam Politik 

Oponi: Dr. Alfisahrin, M.Si
(Antropolog Politik, Wakil direktur III Bidamg Kemahasiswaan dan staf  pengajar di Fakultas Ilmu sosial politik dan komunikasi Universitas 45 Mataram).

 

Dunia politik kontemporer Indonesia akhir-akhir ini semakin menarik untuk dikaji dan perbincangkan secara akademis maupun praksis.   Beberapa diantaranya adalah soal lambannya regenerasi dan transformasi kepemimpinan di tingkat elite politik nasional hingga daerah. Sementara ada realitas politik global baru yang menganga lebar dan  tengah menjadi tren politik  global yakni munculnya tokoh-tokoh politik muda.


Berdasarkan hasil pengukuran indeks yang dilakukan Economist Intelegence Unit Democracy Index 2022 menempatkan Indonesia pada urutan 101 dari 147 negara dalam hal regenerasi politik dengan rata-rata usia anggota DPR mencapai 51, 6 tahun. Di sisi lain, sejak satu dekade terakhir, dunia dikejutkan oleh munculnya sosok muda dipanggung politik seperti Sana Marin di Finlandia, Jacinda Adern di Finlandia, Gabriel Boric di Chile,, Jason Trudeau di Kanada dan Emanuel Macron di Prancis.


Politik dan demokrasi global dapat menjadi parameter dan tolak ukur bagi kemajuan maupun kemunduran dari kehidupan politik (bios politic) suatu negara. Sayangnya demokrasi dan kehidupan politik di Indonesia masih di dera oleh soal-soal klasik yang pelik serta tidak pernah kunjung terselesaikan,  akibatnya praktek dan esensi politik kita macet dan stagnan  tidak mampu bergerak maju secara evolusionis dengan keluar mengikuti jejak dan  dinamika  politik i global yang semakin trasnformatif. Demikian pula dengan proses terjadinya sirkulasi elite kekuasaan politik  masih dihambat dan terjebak pada serangkaian pernak pernik  dan ritus, demokrasi formalistik seperti pemilu dan kampanye politik. 


Begawan politik kenamaan Amerika Schumpter menyebut ‘ situasi ‘ini  denngan demokrasi prosedural bukan demokrasi substansial yang menghadirkan perwujudan dari saripati inti  demokrasi yakni terciptanya  kesejahteraan, tegaknya keadilan, dan kesetaraan publik

Saat ini, arsitektur politik nasional dan daerah terutama di partai politik nyaris masih dikuasai oleh kaum tua sejak orde lama hingga orde baru wajah dan postur politik Indonesia panoramanya tetap kental didominasi oleh generasi tua. Ada sejumlah jawaban atas terjadinya  stagnasi dan bukan reformasi politik yang mendesak untuk segera dilakukan.


Adanya  status quo  di tubuh partai politik, panggung parlemen dan   birokrasi ditengarai karena terjadi karena adanya dominasi penguasaan  alat produksi, basis jaringan dan infrastruktur ekonomi lainnya oleh kaum tua. Selain itu, proses dan tata kelola serta sistem pemilu di negara kita, setiap periode  mengalami kenaikan biaya sangat tinggi (high cost politic).. Realitas tersebut, membuat generasi muda seketika ciut nyali, takut, antipati, masa bodoh dan lari terbirit-birit  menjauhi politik. Yakin saja seperti kata Erdogan Presiden Turki saat orang baik tidak berpolitik maka, orang jahat yang akan berkuasa.


Dunia sudah berubah jauh sekali dan segala dimensi kehidupan pun telah mengalami apa yang disebut oleh Fritjof Capra dengan ‘krisis multidimensi’ di mana soal politik mempengaruhi stabilitas ekonomi dan soal ekonomi dapat menciptakan krisis politik, pangan, pendidikan, kesehatan bahkan agama. Orang miskin dan lapar mudah terpapar oleh wabah fundamentalis dan anarkis. Tampuk kepemimpinan politik di beragama level yang diemban dan dimandatkan kepada kaum tua dalam proses-proses yang demokratis justru tanpa bermaksud melakukan generalisasi. 


Menurut saya justru  menyuburkan praktek politik lama orde baru yang koruptif, nepotis, klientalis dan transaksional. Berbanding lurus dengan perkembangan politik global yang mengalami transformasi dan introduksi kepada nilai dan gagasan politik baru seperti digitalisasi data birokrasi, elektronik vote, elektronik trading, elektronik political institution, electronic public service, dan electronic natural and human resources. 


Gagasan ini hanya dapat diterjemahkan dalam kultur dan praktek politik Indonesia apabila ada arah baru paradigma dan sistem politik yang dikembangkan, Misalnya mengubah syarat kontitusi batas syarat calon dari 40 tahun menjadi 25-30 tahun. Minus Gibran yang  menurut saya terlalu dipaksakan dan tidak proporsional disertakan sebagai kontestan pilpres saat ayahnya masih menjabat presiden aktif. 


Dalam pengamatan saya, mengapa anak-anak muda hebat di daerah-daerah meski sarat dengan segala potensi dan modal simbolik seperti intelektualitas, kapasitas dan prestasi berderet menjulang tinggi. Kaum muda terdidik dengan gelar, keahlian dan merupakan alumni dari kampus-kampus terkemuka dunia. Faktanya keterlibatan dan partisipasi kaum muda dalam politik pada tingkat nasional dan regional  di banyak level kompetisi politik masih sangat rendah.


Kondisi ini yang digambarkan oleh Barbara White (2001) bahwa politik Indonesia pasca orde baru sebagai ‘ regenerasi ’dari aktor-aktor tua yang menguasai sebagian besar atau seluruh jaringan bisnis dan perdagangan di masa lalu lewat kebijakan monopoli dagang yang difasilitasi oleh rezim. Elite-elite yang dekat dengan kekuasaan rezim orde baru  karena mendapatkan aneka fasilitas dan priveledge dari negara bisnis mereka untung besar dan seketika membentuk konglemarasi.


Pasca rezim orde baru tumbang dan  digantikan oleh era reformasi seolah menjadi momentum yang lama ditunggu aktor-aktor politik tua dengan modal ekonomi, jejaring  bisnis yang menggurita dan relasi luas yang tersebar di dari pusat hingga daerah dapat dengan mudah menguasai dan mengalahkan aktor-aktor politik muda di panggung politik. Alasan sederhananya karena kaum muda hanya mengandalkan idealisme, gagasan, dan reputasi intelektual sebagai modal. 


Padahal dalam dunia politik yang keras dan culas ide, gagasan dan visi misi juga program kerja tidak lebih penting dari uang. Hal ini menjadi  alasan, mengapa kaum i muda yang tampil berpolitik di Indonesia dapat ditaklukan dan disingkirkan  dengan kejam, mudah, dan tanpa belas kasihan di arena politik oleh para taipan dan oligarki.


Dominasi aktor-aktor politik tua sebenarnya bukan perkara baru yang tiba-tiba baru  muncul dalam dunia dan panggung politik kontemporer. Secara antropologi dapat ditelusuri jauh bahwa di masa lalu  secara budaya dan politik. Orang-orang tua ‘ dianggap ‘ sebagai sumber pengetahuan, kearifan, ketangkasan (dexterity), dan lumbung pengalaman.  


Oleh karena itu, posisi kaum tua dalam beragam peran sosial, ekonomi, keluarga, dan politik yang dimainkan dianggap belum sepenuhnya dapat digantikan oleh kaum muda. Alasan historis dan kultural tersebut, menjadi alasan mengapa praktek dan budaya gerontokrasi dalam politik Indonesia terus bertahan.


Gerontokrasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pemerintah atau badan pemerintahan yang dikendalikan oleh orang-orang tua. Gerontokrasi adalah sebuah relasi sosial. Lazimnya gerontokrasi secara ilmiah suatu konsep yang didesain untuk memberikan pengertian dan  gambaran tentang keadaan suatu masyarakat yang dalam banyak aspek terutama kehidupan politik dikendalikan oleh orang-orang yang telah tua. Ciri umum yang melekat pada kepemimpinan model gerontokrasi adalah konservatif, lambat, dan kaku. 


Gerontokrasi sendiri  secara etimologi berasal dari kata geront, yang dalam bahasa Yunani, berarti orang tua atau orang lanjut usia. Geront + kratia berarti keadaan politik dan pemerintahan, ketika yang berkuasa orang-orang yang lebih tua dibandingkan rata-rata populasi dewasa. Istilah gerontokrasi dipopulerkan di Prancis sejak abad ke-19 sebagai kritik terhadap parlemen yang semakin didominasi oleh politisi yang sudah tua dengan perilaku politik patronizing.


Dalam praktiknya gerontokrasi membatasi akses untuk orang-orang yang masih muda pada kekuasaan bahkan sadisnya  ditutup. Dalam praktek  gerontokrasi politik ini  ini, orang tua mengambil posisi sebagai subjeknya sementara orang yang masih muda adalah sebagai objek; atau orang tua sebagai penikmat dan yang muda sebagai korban akibat dari tertutupnya akses.


Banyak masyarakat, komunitas, dan organisasi yang menggunakan cara seperti ini, tanpa kecuali di Indonesia. Banyak organisasi yang membiarkan diri dikendalikan oleh orang yang sudah tua. Kesempatan memimpin lebih terbuka untuk yang sudah berumur. Bahkan sampai dibuat sistem sedemikian rupa, sehingga yang tua tetap sebagai pemegang rezim, sedangkan yang masih muda dipinggirkan terlebih dahulu. Sebagai contoh, pola kepemimpinan di  sejumlah pondok-pondok pesantren bahkan universitas  di Indonesia menjalankan model gerontokrasi ini, dengan model pengendalian di tangan para kyai sepuh yang sudah berumur.


Praktek gerontokrasi di dunia politik dalam peta politik global dapat di lihat kasusnya  di Uni Soviet, Eropa Timur dan Tengah, serta Cina selama pertengahan abad ke-20 bisa diambil sebagai contoh gerontokrasi. Setelah Uni Soviet pecah, dan reformasi terjadi di eks blok negara-negara sosialis/komunis ini, wajah-wajah yang lebih muda mulai menghiasi jajaran pemimpin mereka.


Di Indonesia, setelah reformasi kurang lebih 15 tahun, dirasakan sudah banyak kemajuan. Demokrasi berkembang dengan cepat, dengan sistem pers yang bebas dan sistem multipartai.  Sebenarnya menurut saya, sudah banyak perubahan dalam struk kelembagaan politik, partai dan desain model demokrasi yang telah dilakukan tapi  belum sepenuhnya dapat mengikis fenomena gerontokrasi.


Hal ini dapat terlihat dari masih kuatnya dominasi figur-figur senior yang mengendalikan roda partai, bahkan dijadikan ikon partai. Kondisi inilah yang membuat kultur di partai-partai politik kita tidak banyak berubah sekalipun tuntutan reformasi sudah digulirkan. Akibatnya, skandal-skandal yang melibatkan aktor-aktor politik senior. Harusnya pasca reformasi tahun 1997-1998  kultur politik sudah berubah secara mendasar ke arah yang lebih positif melalui regenerasi dan sirkulasi elite politik yang menyedot banyak kaum muda sebagai tulang punggung partai politik dan demokrasi bangsa.  Gerontokrasi menurut siklus Pollybios akan melahirkan oligarki partai, yakni terbangunnya kekuasaan partai yang proses dan hasilnya dikendalikan oleh segelintir kecil elite partai. 


Keberadaan gerontokrasi dalam politik akan berdampak pada dua hal penting; Pertama, regenerasi politik menjadi terhambat karena tertutupnya ruang untuk kaum muda dalam sirkulasi kepemimpinan. Kedua, trasisi ke sitem politik yang lebih demokratis akan mengalami kesulitan karena watak kaum tua yang koservatif dan anti perubahan. Bahayanya gerontokrasi apabila dibiarkan dan tidak berpegang pada demokrasi yang sebenarnya adalah bahwa keadaan seperti ini dapat dengan mudah memunculkan otokrasi. Otokrasi yang lama, baik pada tingkat nasional maupun lokal, bisa secara diam-diam memicu perlawanan yang bersifat eksplosif yang sangat mungkin bisa menyebabkan terjadinya kerusakan sendi-sendi demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah.


Kesenjangan yang ditimbulkan oleh gerontokrasi akan mengakibatkan konsisi yang tidak sehat bagi partai dan demokrasi. Maka dari itu gerontokrasi seharusnya sudah mulai dikurangi. Maka dari itu dibutuhkan sifat legowo berpolitik dari para politisi yang sudah tua untuk terciptanya regenerasi. Dengan begitu, kita bisa berharap akan ada pembaruan, suasana segar yang lebih sehat dan dinamis pada kehidupan partai politik di Tanah Air. Reformasi konstitusi dan pendidikan politik yang dilakukan secara sistemik di kalangan kaum muda terdidik dan diikuti  oleh partai politik, pemerintah dan parlemen akan mengubah cara pandang, orientasi dan akan menarik lebih banyak partiispasi kaum muda untuk berpolitik.


****


Tidak ada komentar: