Rabu, 01 Mei 2024

Wajah Baru Praktik Korupsi di Era Birokrasi Patrimonial

 

Dr. Alfisahrin, M.Si (antropolog politik)

Wakil direktur III Politeknik MFH dan Staf Pengajar Ilmu Sosial politik dan Komunikasi Upatma Mataram.


Mataram, Inside Pos,-

Opini: Dr. Alfisahrin, M.Si


Kasus korupsi di era birokrasi modern merupakan sebuah fenomena patologi sosial politik yang cukup memprihatinkan karena telah mengakibatkan kerugian negara mencapai 230 triliun tahun 2023. Maraknya korupsi di Indonesia menyebabkan rendahnya investasi, mendistorsi alokasi sumber daya dan menurunkan produktivitas belanja publik dan parahnya mendegradasi kualitas pembangunan.  Praktek korupsi yang kini tengah menggila di kalangan penjabat negara ditengarai terjadi banyak faktor dari soal gaya hidup hedonistik hingga perilaku serakah (corruption by greedy). 


Terbaru kasus Harvey Moeis suami artis Dewi Sandra  yang melakukan korupsi 171 triliun cukup menyita perhatian publik di tanah air. Perilaku korupsi dalam beragam bentuk, pola dan modusnya pun semakin canggih dan kreatif, Sungguh ironis hanya karena urusan di atas dan di bawah perut banyak penjabat negara rela gadaikan integritas dan terjerat kasus korupsi. Ada pejabat yang rela disuap, mau diberi gratifikasi, melakukan mark up dan menagih fee proyek pada kontraktor.


Tidak terhitung berapa banyak operasi tangkap tangan yang telah dilakukan KPK dan menjebloskan para koruptor ke jeruji besi namun kenyataannya sanksi hukum yang berat pun tidak memberi efek jera dan menyurutkan niat korupsi pejabat negara di Indonesia.  Praktek kotor korupsi dan suap dalam birokrasi kita telah mengakar dan meggurita di hampir semua level pelayanan birokrasi dari pemerintah pusat  menyebar hingga ke daerah tanpa kendali. Tidak heran publik pun kehilangan trust/kepercayaan dan legitimasi etik dan moral terhadap penyelenggara negara.  Rentetetan kasus demi kasus korupsi yang terjadi  di tanah air tidak pernah menjadi pelajaran berharga tentang cacat dan  tercelanya perilaku   korupsi. Kejahatan korupsi sudah dianggap sebagai peristiwa biasa yang lazim terjadi atau banalitas dalam istilah Hannah Arrendt Sehingga lembaga-lembaga anti korupsi yang dibentuk seperti KPK, kejaksaan, serta kepolisian ikut  frustrasi dan kehilangan akal dalam mencari-cari akal untuk memberantas praktek buruk korupsi di negara.

 

Korupsi merupakan permasalahan pokok dan tema sentral  dalam isu birokrasi Indonesia dan  praktek korupsi sebagai sebuah kejahatan ekstra ordinary crime (kejahatan luar biasa). Saat ini episentrumnya peristiwanya tidak lagi sekedar monoton  terjadi pada  penjabat elite di pemerintah pusat tetapi penyakit korupsi pun telah  menjadi wabah dan bencana pada unit-unit kekuasaan mikroskopik (terkecil) seperti di pemerintah desa. Dalam catatan KPK korupsi dana desa mencapai 529 kasus tahun 2024. Sebaran kasus korupsi juga trennya semakin  meluas dan  meningkat di sektor pendidikan bahkan dalam kurun waktu 6 tahun terkahir negara mengalami kerugian 1, 6 triliun dari korupsi pendidikan. Jadi hampir  tidak ada lagi institusi birokrasi negara yang bersih, tidak tercemar dan terlibat dalam praktek korupsi. Pertanyaanya, kepada siapa lagi kita dapat berharap, sekelas lembaga pendidikan seperti universitas sebagai benteng moral dan penjaga  etik pun di dalamnya menjamur praktek korupsi. Sehingga tidak terhitung berapa banyak rektor, dekan, dan penjabat kampus yang terpaksa duduk meringkih sebagai pesakitan di pengadilan karena diringkus KPK akibat skandal korupsi. 


Terbaru KPK bahkan merilis sejumlah nstansi atau lembaga pemerintah terkorup di Indonesia tahun 2023, Lembaga ini dianggap produktif menyumbangkan para koruptor urutan pertama, ditempati pihak swasta (404 tersangka), kedua, pejabat pelaksana eselon 1 sampai 4 (351pejabat/persangka)-  ketiga, Lembaga legislatif (DPR) (344 tersangka). Keempat, Gubernur/walikota (176 tersangka). Kelima, Hakim (31 tersangka) dan keenam, pengacara (18-orang tersangka). Ketujuh komisioner dan korporasi ( delapan tersangka), Depalan, jaksa (11 tersangka) dan polisi (5 orang tersangka).

Gurita korupsi ini semakin mengkonfirmasi betapa buruknya tata kelola birokrasi pemerintah dan pelayanan publik di negara kita. Hampir semua sektor ada korupsi dan koruptornya bahkan nyaris setiap jenis pelayanan ada upahnya (gratifikasi). Oknum penjabat negara tidak ubahnya predator yang memanfaatkan relasi kuasa dan otoritas sebagai jalan pintas untuk memperkaya diri dan kerabat. Birokrasi kita kini menjadi sarang korupsi dan  seolah berjalan secara mekanis karena menjadi alat untuk mengeruk uang bagi penjabat. 


Aspek  pelayanan humanis dari birokrasi seperti altruis, total, berkualitas dan memuaskan  sudah sukar ditemui dalam wajah birokrasi kita. Ruang-ruang elite birokrasi memnjam istilah Gregory Losanov sudah ‘diorkestrasi’ oleh pejabat-pejabat feodal yang dikendalikan seperti robot oleh fitur-fitur kontrol penguasa. Mereka umumnya menghamba penuh pada kekuasaan dan dirinya sendiri tanpa banyak perduli pada nasib rakyat. Kondisi buruk ini terjadi menurut saya karena birokrasi tidak lagi diterjemahkan secara esensial sebagai fasilitas untuk memajukan kesejahteran umum dan sarana untuk meningkatkan kepuasan publik terhadap kinerja kekuasaan. Birokrasi sebagai mesin pelayanan public harusnya  tidak boleh menempatkan diri sebagai korporasi yang mind set nya berdagang dan jual beli jasa dalam mengurus dan mengatur kepentingan rakyat.  Sebaliknya birokrasi sebagai sebuah struktur meminjam istilah Jean Claude Levistrauss  harus melayani rakyat sesuai fungsi, azas, dan prinsip  profesionalitas bukan ambil untung pribadi dan rugikan kepentingan rakyat. 


Carut marut dan gentingnya korupsi yang mengepung seluruh episentrum birokrasi di Indonesia semakin membenamkan  kekuasaan politik negara kepada praktek klepto-birocracy atau birokrasi yang di kelola dan diatur oleh para bandit pencuri. Kondisi gawat dan genting korupsi akibat ulah pejabat korup oleh Giorgio Agamben Filsuf politik Italia menyebutnya dengan ‘ situasi kedaruratan’ negara. 


Jenuh, kaget, geram bahkan frustrasi setiap hari kasus korupsi menyeruak muncul di berita-berita tv dan koran padahal upaya-upaya preventif pencegahan korupsi bahkan  meningkat 37, 09 persen dengan  anggaran mencapai  1, 3 rriliun pada tahun 2022 dan 1, 204 triliun 2023. Ada apa dan mengapa banyak orang-orang baik yang terdidik dan cendekiawan ketika berada dalam posisi dan panggung birokrasi bermental korup. Untuk menjawabnya saya teringat dengan dua sifat dari birokrasi yang digambarkan oleh filsuf besar Jerman karl Marx, pertama birokrasi  adalah organisasi yang parasitic dan kedua, eksploitatif. Oleh karena itu, ketika seorang ada dalam birokrasi dia bisa numpang hidup dalam tubuh kekuasaan dengan memanfaatkan kewenangannya (parasitk).


 Besarnya otoritas dan priveledge yang dimiliki sebagai pejabat tidak jarang menjadi sebuah kesempatan dan alasan untuk mengeksploitasi orang lain seperti meminta pungli,  fee, gratifikasi bahkan memeras. Menurut saya, birokrasi dalam perspektif kaum Marxisme merupakan isntrumen bagi kelas yag berkuasa (rulling class) untuk mengekspolitasi kelas yang lain (yang dikuasai). Dalam konteks demikian birokrasi berfungsi structural, kultural dan politis untuk mempertahankan priviledge dan status quo bagi kepentingan kelas kapitalis. Realsi kuasa yang kental antara penguasa dan penjabat negara yang pragmatis dan transaksional telah banyak memakan korban dan menjerumuskan sederet  nama beken pejabat tinggi negara seperti mantan Menpora Andi  Malaranggeng, Imam Nahrowi, Harun Masiku, Juliari Batu Bara, Johni G.Plate, dan yang teranyar dilakukan oleh Menteri pertanian Syahrul Yasin Limpo cukup mengguncang dan melukai batin masyarakat yang tengah dihimpit oleh aneka masalah pelik dalam negeri. 


Soal rendahnya harga jagung, tingginya harga beras, penggusuran di rempang, kebakaran hutan di Gunung Bromo dan kekeringan luas yang merambah banyak daerah menyebabkan banyak petani menderita kerugian karena gagal panen dan ancaman  jerat hutang yang menggunung menanti. Tiba-tiba di tengah hiruk pikuk dan lalu lintas peliknya masalah bangsa publik pun  dihantam berita besar korupsi mantan Walikota Bima HM.Lutfi yang resmi ditetapkan tersangka oleh KPK beberapa waktu yang lalu. Kejadian miris ini menjadi musibah dan petaka bagi pemerintah Kota Bima. H.Lutfi sosok yang dikenal ramah, politisi berpengalaman dan memiliki jam terbang di tingkat nasional tiba-tiba terjerembab dan jatuh  dalam pusaran korupsi yang mencengangkan. Perasaan iba dan simpati rasanya manusiawi dialamatkan kepada beliau. 


Akan tetapi itu tidak cukup untuk mencari tau akar dan sumber masalah, mengapa sekelas Walikota tajir melintir seperti H. Lutfi bisa ikut terseret dalam kasus tercela korupsi. Apakah ini murni tindak pidana korupsi semata atau ada keterlibatan permainan politik (political game) dari rival politiknya. Peristiwa dan kasus korupsi di Indonesia memang tidak an sich berdiri sendiri tetapi melibatkan banyak sekali variabel sosial politik dan ekonomi.


Saya menduga buruknya sistem partai  politik menjadi satu alasan maraknya praktek korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah. Biaya untuk membeli satu partai politik pengusung di bursa pencalonan di arena pilkada tidak murah bahkan sangat mahal. Calon dengan modal cekak tentu akan sulit  bertarung dan dengan sendirinya akan tersingkir dari gelanggang perebutan partai pengusung. Calon kepala daerah tentu tidak cukup hanya mengandalkan  satu partai politik saja sebagai modal menang tetapi butuh beberapa partai politik tambahan untuk memenangkan pertarungan di pilkada. Bukan rahasia umum jika mau jadi Gubernur, Bupati dan walikota di republik harus menyiapkan  puluhan hingga ratusan miliar uang pribadi. 


Dalam konteks ini politik dan segala aksesoris serta atribut permainannya tidak lebih dari sekedar orang  berjudi dan mengundi nasib. Ketika menang pun para politisi terpilih, mereka bukan lekas bergegas mengatur posisi dan strategi agar menyusun kebijakan yang mensejahterakan rayat melainkan segera berpikir bagaimana agar ongkos dan modal politk cepat kembali. Segala  cara pun  dilakukan dari jual beli jabatan, jual proyek, tarik fee proyek, mark up, penggelapan hingga proyek fiktif. Jadi menurut saya, Akar dan masalah korupsi kepala daerah bersumber dari biaya politik yang tinggi menyebabkan kepala daerah menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) yang dimiliki. 


Faktor lain adalah intensifnya kerabat dan keluarga ikut serta mengatur, memengaruhi dan memutuskan kebijakan-kebijakan strategis birokrasi seperti mengatur proyek, menetukan pemenang tender, dan mengatur pejabat yang mengendalikan anggaran strategis. Tidak jarang dapur inti birokrasi terutama di birokrasi daerah diatur oleh  kerabat dekat seperti istri, ipar, mantu dan kolega. Ini juga terungkap dalam kasusu korupsi eks Walikota Bima HM Lutfi dalam dalam fakta persidangan di pengadilan  tipikor   Mataram. 


Pentetrasi kepentingan kerabat penguasa dalam birokrasi menjadi sumber utama masalah korupsi karena fungsi dan  aturan ketat pengawasan dalam birokrasi macet (disfungsi) tidak berjalan karena adanya hubungan darah dan genealogis kekerabatan (patrimonial). Rata-rata korupsi dalam dinasti politik terjadi karena kekuasaan diatur dalam relasi dan ikatan-ikatan kekerabatan yang disebut dengan (patrimonialistik). Kasus ini juga terjadi pada  kasus korupsi dinasti politik  Ratu Atut di Banten,  Dodi Reza Alex Nurdin di Sumatera, Fuad Amin di bangkalan,  Syaukani Hasan Rais di Kutai, Sri Hartini di KlatenAtty Suharti di Cimahi dan Puput Trantiana di Probolinggo. Rentetan  peristiwa korupsi dari dinasti-dinasti politik ini tidak hanya mengguncang legitimasi pemimpin terpilih dan birokrasi pememrintah yang terhormat  tetapi juga melahirkan pertanyaan mengenai masa depan demokrasi Indonesia. tidak ada birokrasi di negeri ini yang luput dari jenis penyelewengan. Korupsi telanjur melekat dalam struktur birokrasi Indonesia, bahkan sebelum terbentuknya republik ini.

Dengan kata kata lain, birokrasi pemerintah telah berubah menjadi sumber kekuasaan dan kekayaan pejabat, baik melalui penjarahan uang dan kekayaan negara maupun penindasan dan pemerasan rakyat. Sebab, fungsi penyelenggaraan pemerintahan bukan lagi untuk kepentingan rakyat. Sejak lama maknanya ditransformasikan menjadi kekuasaan atas rakyat, seperti halnya negara menguasai kekayaan alam dan isinya. Sistem demikian mirip parasit dalam kehidupan bangsa dan negara. Kelangsungan hidupnya ditopang uang yang diisap dari rakyat.Hidup di bawah sistem demikian menjadi tidak nyaman. Ketika bayi lahir, misalnya, mesin pungutan liar sudah menunggu di kantor catatan sipil. Tanpa uang pelicin, akta kelahiran tidak akan keluar. Setelah sang bayi menjadi dewasa, ia akan berhadapan dengan praktik pungutan liar yang lebih ganas. 


Mulai dari mengurus kartu tanda penduduk, surat keterangan berkelakuan baik, paspor, surat nikah, hingga saat akan dimakamkan. Sepanjang  sejarah RI sudah beragam undang-undang, keputusan presiden, dan kebijakan politik yang diterbitkan, termasuk pembentukan tim dan komisi-komisi antikorupsi. Namun, seperti halnya film nasional, cukup membaca judulnya sudah dapat ditebak penutupnya. Semua berakhir gagal membasmi korupsi. Bahkan tidak berhasil mencegah derap majunya. Kalaupun masih ada yang optimistis dan menaruh harapan kepada aparat penegak hukum dan keadilan, mereka hanyalah pemimpi dan buta terhadap kenyataan. Hasil penelitian belum lama ini menunjukkan, tumor korupsi justru lebih ganas menggerogoti kedua lembaga tersebut.

Pergantian rezim, entah itu dari Orde Baru ke Orde Reformasi, dari militer ke sipil, dan kemudian kombinasi militer-sipil, tetap tidak mengubah birokrasi menjadi sehat. Max Weber menyebut birokrasi legal-rasional. Institusi yang menggerakkan masyarakat modern.Di era Reformasi, korupsi malah menjalar hingga ke lembaga legislatif. Banyak unsur pimpinan maupun anggota DPRD tingkat I dan II periode lalu terpaksa mendekam di penjara akibat menjarah uang rakyat. Di tingkat nasional, ketua DPR dan wakil ketua MPR juga sempat meringkuk di sel tahanan Kejaksaan Agung. Termasuk Gubernur Bank Indonesia. Ironisnya, mereka berkuasa dan memberi perintah dari balik terali besi tersebut. Tidak ada bangsa dan negara di dunia yang melakukan hal seburuk ini. Bahkan tidak ditemukan di negara yang dilanda perang saudara, seperti di Afrika.


Lantas dari mana semua sumber borok birokrasi ini?


Sejarah birokrasi di Nusantara bermula dari era tanam paksa. Namun, seperti ditulis JI (Hans) Bakker dalam Bureaucratization of Patrimonialism: Colonial Taxation and Land Tenure in Java, 1830-50, Cultuurstelsels (tanam paksa) tidak memodernisasi Jawa. Kebijakan kolonial memerintah secara tidak langsung cenderung memperkuat struktur kekuasaan lokal yang bersifat patrimonial. Akibatnya, seperti dikemukakan Clifford Geertz, hanya aspek administratif birokrasi yang dimodernisasi secara relatif, sementara struktur dasarnya tetap sama. Maka ketika tahun 1870 dilakukan upaya perubahan struktural dalam sistem politik di Pulau Jawa, sisa stelsel lama tersebut merintanginya. Upaya kolonial Belanda membangun birokrasi legal-rasional sebagian besar tidak efektif. Ditambah pendekatan yang lamban dan terlalu berhati-hati, Belanda gagal membentuk pemerintahan modern.


Dalam Patrimonialism, Involution, and The Agrarian Question in Java: A Weberian Analysis of Class Relations and Servile Labour, Bakker mencoba menjelaskannya lebih detail dengan menganalisis hubungan pusat-pinggiran. Antara kepentingan elite merkantilis di Belanda, yang diwujudkan dalam kebijakan indirect-rule, dengan kepentingan penguasa lokal mempertahankan kekuasaan yang bersifat patrimonial. Sosok birokrasi patrimonial itu sendiri menjadi jelas jika dibandingkan dengan birokrasi legal-rasional. Max Weber menyebut beberapa karakteristik birokrasi legal-rasional. Antara lain, pembagian kerja dan spesialisasi tugas, peraturan hubungan atasan-bawahan yang bersifat impersonal dan rasional, pemisahan antara milik publik dan pribadi, serta loyalitas birokrat pada perintah atasan yang bersifat impersonal. Sedangkan perekrutan didasarkan pada kualifikasi formal serta uji kemampuan. 


Dengan sendirinya penempatan seseorang pada jabatan tertentu ditentukan kemampuan dan prestasi. Sebaliknya dalam birokrasi patrimonial, pembagian kerja dan tugas tersebut tidak jelas. Hubungan atasan-bawahan bersifat personal, tidak membedakan milik publik dan pribadi, serta loyalitas kepada orang yang memegang jabatan di atasnya. Perekrutan didasarkan pada hubungan keluarga, perkoncoan, dan parpol. Demikian pula penempatan seseorang pada jabatan tertentu. Setelah terbentuknya RI, aspek legal-rasional diadopsi sebagai landasan birokrasi pemerintah, termasuk sumpah jabatan. Dalam Fall from Grace: The Political Economy of Indonesian Decay and Decline (2001), Dr Jason Abbott lebih cenderung menggunakan istilah neo-patrimonial. Dalam arti, dominasi patrimonial (Herrschaft) yang hidup di tingkat keluarga, desa, dan hubungan sosial lainnya diterjemahkan dalam sistem politik dan administrasi.


Wujudnya menjadi mirip hubungan patron-klien di desa, yang diperluas menjadi KKN dalam jajaran birokrasi. Dalam sistem yang lahir dan bertahan hampir dua abad ini, perubahan rezim hanyalah sebatas pergantian patron-klien yang berkuasa. Dengan sendirinya melanjutkan korupsi berjamaah. Sebab struktur dasarnya tetap patrimonialisme warisan kuno. Hal seperti ini juga berlangsung dalam birokrasi parpol. Untuk mencegah praktek buruk korupsi memang tidak mudah tetapi saya menyarakan perlunya penguatan kapasitas kelembagaan KPK, kemudian tingkatkan masa hukuman pelaku korupsi jangan mudah obral grasi, Terapkan hukuman mati,perbaiki sistem rekruitmen penengak hukum dengan menyeleksi pejabat berintegritas tinggi dan perkuat pengawasan dan hapus cela korupsi dengan pelayanan public berbasis on line agar tercipta clean government dan clean public service. 


***

Tidak ada komentar: