Opini: Dr. Alfisahrin, M.Si
Antropolog Politik, Wadir III Politeknik MFH dan Staf pengajar
pada Ilmu Politik dan Komunikasi Universitas 45 Mataram.
Mataram, Inside Pos,-
Pasca perang dagang sengit antara Amerika dan China baru-baru ini, pandangan masyaraat dunia lambat laun berubah bahwa ternyata kekuatan hegemoni Amerika yang telah bercokol cukup lama secara ekonomi, militer, teknologi dan politik dapat diimbangi oleh China.
Martin Jacques (2009) dalam When China Rules The World bahkan tegas mengatakan bahwa dalam sepuluh dan dua puluh tahun akan datan GDP China akan lebih tinggi 3x lipat dari Amerika. Fakta ini seolah beririsan dengan bukti bahwa pertumbuhan ekonomi China kini kian meroket dibandingkan dengan Amerika yang justru mengalami decline (penurunan) grafik pertumbuhan. Hal ini cukup mempegaruhi reputasi dan performa politik Amerika di Asia Timur dan Tenggara yang memang secara kultur politik selama ini menjadi kekuatan kunci.
Runtuhnya hegemoni Amerika tidak saja perlahan surut dan mulai redup di Asia melainkan juga terjadi di beberapa kawasan Amerika latin, terutama setelah konflik dan ketegangan panjang Amerika dengan Kuba di era presiden Fidel Castro kemudian disusul oleh Evo Morales di Bolivia dan Hugo Chaves di Venezuela yang menolak dominasi dan kontrol penuh Amerika terhadap negara mereka.
Pamor Amerika semakin tergerus dan melemah di tengah keras dan kuatnya ambisi Amerika sebagai polisi dunia. Transisi politik nasional Amerika pasca Barrack Obama ke Donal Trump justru makin memperburuk citra global Amerika di mata dunia dan masyarakat internasional. Obama dianggap lebih cakap, kredibel, inklusif dan ramah dalam menampilkan citra positif, peran politik, budaya, ekonomi dan politik luar negeri Amerika dibanding Donald Trump di semua kawasan terutama kawasan timur tengah dan Asia.
Presiden Donald dengan gaya politik yang antagonis, anti hispanik, anti imigran, anti islam dan sejumlah citra demagogi lainnya justru semakin memperburuk reputasi Amerika sebagai negara adi kuasa yang demokratis, egaliter, dan mapan dengan tradisi multikulturalisme. Redupnya hegemoni Amerika di kawasan Amerika latin dan Asia secara politik menciptakan perubahan signifikan dalam peta dan kontelasi kekuatan politik internasional.
Amerika tidak lagi dianggap sebagai kekuatan politik tunggal dan utama yang utama yang memainkan peran global tetapi ada kekuatan super power lain yakni China selain raksasa Russia di blok timur yang secara diplomatik dan kultur tidak menjalin hubungan dekat dengan Amerika.
Situasi ini menguntungkan posisi politik dan geografi China, Iran, Korea Utara dan India yang membangun aliansi politik dengan Russia dan masing-masing negara menjauh dari Amerika dengan memperkuat soliditas dan stabilitas hubungan multilateral sebagai kekuatan politik baru di Asia.
Posisi negara-negara Asia merupakan kawasan potensial dan strategis dengan populasi besar dan sumber daya melimpah sebenarnya merupakan pasar ekonomi, militer, teknologi dan budaya yang empuk bagi industri -industri multinasional-kapitalistik Amerika dan negara eropa sekutu dekatnya seperti Inggris, Perancis, Jerman dan Italia. Akan tetapi sentimen anti Amerika seolah menyebar luas dari arah Amerika latin hingga Asia sebagai implikasi politik, ekonomi, budaya dan agama atas kebijakan luar negeri Amerika yang tidak adil, sikap diskriminatif, dan perlakuan sewenang-wenang Amerika terhadap sejumlah negara terutama di kawasan timut tengah seperti Afganistan, Palestina, Suriah, Irak dan Iran.
Kondisi objektif tersebut, menarik untuk dianalisis dalam perspektif geopolitik, Geopolitik sendiri merupakan sebuah terminologi yang semula oleh pencetusnya Frederick Ratzel (1944), diartikan sebagai ilmu bumi politik (Political Geography), istilah geopolitik kemudian dikembangkan dan diperluas lebih lanjut oleh Rudolf Kjellen (1864) dan Karl Haushofer (1869) menjadi Geographical Politic. Konsep geopolitik secara akademis mengkaji bagaimana faktor -faktor geografis seperti tata letak lokasi, sumber daya alam, struktur wilayah suatu negara memengaruhi dinamika politik dan strategi negara dalam panggung global. Konsep politik global pada dasarnya tidak terlalu dikenal luas oleh masyarakat sebelumnya karena mereka lebih familiar dengan istilah politik internasional.
Istilah politik internasional atau (inter-nation/antar negara) secara filosofis orang beranggapan bahwa setiap bangsa memiliki kedaulatan sendiri-sendiri dan kekuatan-kekuatan sendiri yang tidak dipengaruhi oleh bangsa lain. Meminjam analogi unik dari Andrew Heywood (2017) bahwa relasi antar negara saat ini seperti sekelompok bola biliar, ketika ada benturan antara dua negara maka, yang menentukan keputusan dan juga dampak yang dirasakan adalah dua negara tersebut, bukan oleh negara lain. Akan tetapi berbeda dalam konsep politik global kekuatan antar negara menjadi faktor penyeimbang yang paling menentukan terjadinya stabilitas secara global.
Meskipun faktanya negara-negara yang ada di dunia ini tidak ada yang memiliki kekuatan yang berimbang dan sama, Ada negara yang kuat secara ekonomi, ada negara yang kuat secara militer dan pada dasarnya mampu mengekspansi dan mempengaruhi negara-negara lain yang lemah baik secara langsung dan tidak langsung.
Pada tahun 1990an geopolitik internasiona[ dapat dikatakan cenderung mudah ditebak karena bersifal bipolar meminjam istilah Andrew Heywood (2017) karena hanya diwakili oleh dua kekuatan politik global yakni blok barat direpresentasikan oleh Amerika Serikat sedangkan blok timur di wakili oleh Uni Soviet.
Saat ini geo politik global sudah jauh berubah dan semakin kompleks karena kekuatan politik global tidak lagi di hegemoni secara bipolar oleh kekuatan Amerika dan Russia melainkan sudah bersifat multi polar. Terutama setelah munculnya kekuatan-kekuatan politik baru sebagai pesaing yang diwakili oleh China, India, Iran, dan Korea Utara. Situasi ini mengancam dan tidak kondusif bagi Amerika karena mempengaruhi dominasi, kontrol dan hegemoni mereka dalam kepentingan ekonomi dan militer di seluruh kawasan Asia.
Salah satu pertanyaan mendasar, mengapa konsep politik internasional kini bergeser menjadi politik global, jawababnya karena ada fakta berupa munculnya globalisasi yang menciptakan perubahan yang signifikan terutama dalam wilayah ekonomi.
Di mana perdagangan antar masyarakat di suatu bangsa dengan bangsa yang lain mampu menembus batas-batas teritori suatu negara. Kita bisa lihat bagaimana satu korporasi global milik Amerika dapat beroperasi di seluruh negara lain. Sehingga mempengaruhi dan dapat menentukan pola interaksi antar negara seperti kebijakan luar negeri dan kebijakan ekonomi. Kemajuan teknologi juga ternyata mempengaruhi pola hidup manusia di muka bumi sehingga bumi ini seperti sebuah desa global dan orang dapat berinteraksi kapan saja melakukan komunikasi bertukar informasi dan ini membuat budaya kita terpapar oleh efek globalisasi.
Hal ini mempengaruhi banyak sekali segmen kehidupan karena gaya kehidupan di satu negara bisa terjadi juga pada negara yang lain tanpa dapat dikendalikan oleh otoritas pemerintah di negara tersebut (Heywood, 2017). Selain itu ada Fakta lain yakni adanya dilema kolektif bahwa faktanya ada isu-isu yang membutuhkan penyelesaian bersama-sama tidak bisa oleh hanya satu negara. Misalnya terjadi bencana di negara lain pasti membutuhkan bantuan dari negara-negara lain. Contoh lain soal dampak lingkungan yang menjadi persoalan bersama karena bukan hanya satu negara yang dapat merasakan dampak buruknya melainkan ekologi di seluruh dunia sebagai sebuah ekosistem.
Munculnya globalisasi kemudian memunculkan konsep baru yang dinamakan dengan politik global dan kata kunci dari politik global yakni adanya ke saling tergantungan. Jadi tidak ada negara yang berdiri sendiri pada dasarnya atau merdeka bebas dari pengaruh negara lain karena globalisasi telah mempengaruhi aspek ekonomi, politik, dan budaya dan variabel kehidupan . Dalam politik global perubahan apapun yang terjadi dalam suatu negara akan menciptakan pengaruh terhadap negara lain.
Jadi, semua negara tidak lagi dapat secara total mengandalkan otoritas dan kemandirian yang tunggal melainkan satu sama lain terhubung sebagai inter-nation yakni hubungan antar negara. Semua lapisan dan struktur kehidupan sosio-politik meski terhalang jarak geografis, budaya, ekonomi , hukum dan agama tetap terintegrasi pada suatu sistem dan tata aturan politik dan ekonomi global yang dikendalikan oleh negara-negara kuat.
Abad 21 dan Perubahan Geopolitik Dunia
Memasuki abad 21, beberapa tahun pasca runtuhnya raksasa komunis Uni Soviet, politik dunia masih berada dalam hegemoni Amerika Serikat sebagai global superpower. Namun, analisis politik kawakan Noam Chomsky, menegaskan bahwa kapasitas dan hegemoni Amerika serikat pada hakikatnya sudah mengalami kemerosotan bahkan sejak beberapa tahun setelah perang dunia II. Chomsky, menunjukan bukti dengan berkurangnya pengaruh dan hegemoni AS di Asia pada masa perang dingin dengan lepasnya Tiongkok dan Asia Tenggara.
Pendapat Chomsky mengenai tidak adanya kekuatan global yang akan menjadi pesaing Amerika dalam politik dan ekonomi dunia, tentu bisa debatable. Kemucunculan negara-negara yang secara terbuka resisten melawan kebijakan politik luar negeri Amerika seperti Bolivia, Kuba, Venezuela di Amerika latin. Secara geo-politik mempengaruhi upaya-upaya Amerika dalam menjaga dominasi, aliansi dan soliditas sekutu-sekutu politik, militer dan ekonominya di kawasan Amerika latin. Demikian pula dengan kehadiran China dan Korea Utara di Kawasan Asia Timur, dan India Asia Selatan mereduksi dan membayang-bayangi popularitas kekuatan politik Amerika dalam mengontrol dan menancapkan pengaruh di negara-negara kawasan Asia.
Perubahan peta dan struktur politik global ini, terjadi sebagian menurut saya karena Amerika cenderung memainkan peran-peran dan watak yang antagonis, menciptakan standar ganda dan kontra produktif terutama dalam kebijakan politik luar negerinya yang tidak adil di banyak negara. Sebut saja dalam isu Palestina, Irak, Iran, Suriah.
Dalam kasus pelik dan tragis pembantaian warga sispil Palestina, Amerika secara politik dan militer terang-terangan memihak zionis Israel. Di sisi lain, Amerika secara regular tidak mau kehilangan pengaruh di kawasan negara-negara Arab dengan tetap bermain dalam konflik-konflik sektarian di kawasan teluk. Kepentingan global mereka terhadap minyak dan bisnis senjata di kawasan Timur Tengah yang sarat konflik menjadi alasan mengapa Amerika tetap sulit menjadi negara kuat yang memainkan peran dan posisi netral dalam banyak isu domestik negara-negara di dunia.
BRICS Kekuatan Politik dan Ekonomi Baru, Penantang dan Pesaing Amerika.
Adanya hegemoni dan aksi pertunjukan superioritas tunggal Amerika sebagai polisi dunia memicu banyak negara menjaga dan mengambil jarak menjauh dari Amerika dan membentuk aliansi dan poros kekuatan baru. Sebut saja China, Iran, dan Korea utara yang lebih dekat kepada Russia ketimbang Amerika baik dalam kepentingan politik, ekonomi dan militer. Munculnya BRICKS akronim dari Brasil, Russia, India, China, South Africa yang bentuk pada tahun 2001 oleh Goldman Sachs dan Jim O’neil yang melihat potensi pertumbuhan di Brasil, Rusia, India dan Tiongkok sebagai upaya membantu negara-negara berkembang dalam berbagai bidang seperti militer, ekonomi, teknologi, dan hubungan diplomasi antar negara.
BRICK menurut saya berperan strategis dan vital sebagai sebuah representasi kekuatan geopolitik dan geoekonomi baru yang menjadi saingan bagi blok Amerika dan Eropa di barat. Hal ini bukanlah sesuatu yang patut dikhawatirkan, justru perlu diapresiasi. Dengan semakin banyaknya kekuatan politik dan ekonomi dunia, atau dalam artian tidak berpusat pada satu kekuatan saja, maka multirateralisme dan egalitarianism dalam ekonomi-politik global akan semakin mudah tercapai. BRICS akan menjadi blok kekuatan yang menegaskan bahwa kekuasaan ekonomi dan politik tidak bisa terus-terusan dipegang oleh Amerika dan sekutunya. Meskipun Saya sepakat apa yang dikatakan oleh Chomsky bahwa tidak ada, atau katakanlah belum ada, suatu negara berdaulat yang sepenuhnya dapat mengimbangi Amerika baik dari segi hegemoni politik maupun ekonomi.
China misalnya, yang walaupun pertumbuhan ekonomi dan pengaruh geopolitiknya luar biasa pesat namun sampai dengan saat ini masih belum bisa mengungguli hegemoni Amerika Serikat.
Kendati demikian, dalam kenyataannya Amerika tetap menjadikan China sebagai musuh utamanya dalam perebutan hegemoni politik dan ekonomi, sehingga relasi Amerika dan China kerapkali tegang dan diwarnai konflik yang sengit terutama di bidang perdagangan. Bahkan, beberapa analis mengatakan bahwa konflik AS-China ini sebagai babak baru perang dingin jilid dua. Belum adanya negara yang mampu mengungguli ‘kebesaran dan kedigdayaan ’ Amerika dalam politik dan ekonomi dunia, menjadi tanda tanya banyak pihak, apakah ini berarti bahwa kekuasaan Amerika tidak tergantikan? Tentu saja jawabannya tidak.
Apabila suatu negara belum ada yang mampu mengungguli Amerika, kuncinya adalah membangun suatu koalisi ekonomi-politik yang solid untuk menjadi kekuatan atau blok politik baru yang mengungguli Amerika. Karena tentu saja, siapa yang bisa mengelak, bahwa Amerika pun senantiasa melakukan manuver politik untuk menjalin kerjasama dengan negara lain untuk mempertahankan kekuatan dan dominasi politiknya. Sebagaimana menurut Chomsky, meski hegemoni AS sudah merosot, tetapi ambisinya belum pudar. Perlunya dibentuk sebuah aliansi politik-ekonomi untuk menjadi sebuah blok kekuatan politik baru dalam geopolitik dan geoekonomi dunia.
Blok politik ini dimaksudkan guna menggugat dan menghapuskan sistem politik internasional yang unilateralisme dan menggantinya dengan multilateralisme. Tidak bisa dan tidak boleh seharusnya, apabila Amerika menjadi satu-satunya adidaya dunia yang bisa jadi menjadi pengendali politik dan ekonomi dunia. Multilateralisme akan merekonstruksi sistem politik internasional menjadi lebih egaliter, inklusif, dan adil bagi semua bangsa.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar