Penulis: Dr. Alfisahrin, M.Si
Antropolog Politik. Wakil direktur III Bidang kemahasiswaan dan aumni di Politikenik Medica Farma Husada Mataram. Staf pengajar di Fisipol dan Ilmu Komunikasi Uversitas 45 Mataram.
( Menyoal Otoritarianisme sipil dan dinasti politik, Bom waktu Kehancuran Demokrasi)
A. Stagnasi dan Otoritarianisme Sipil di Asia Tenggara
Secara umum demokrasi di Asia Tenggara tengah menjadi sorotan tajam dan perbincangan luas karena terjadi stagnasi demokrasi, ditandai dengan meningkatnya otoritarianimse sipil, politik uang, dinasti politik dan menjamurnya Politik dinasti.
Kawasan Asia Tenggara yang membentang dari Thailand, Malaysia, Singapura, Philipina dan Vietnam, dan Kamboja. Barisan negara-negara ini belum sepenuhnya memiliki kapasitas dan kemampuan menjadi salah satu role model dari praktek demokrasi modern yang akuntabel, profesional dan fair seperti di negara lain.
Dilihat dari kelembagaan partai politik, regulasi pemilu , partipasi publik, dan kapasitas institusi penopang demokrasinya. Terlihat masih rapuh dan rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Meskipun negara-negara tersebut, telah lama merdeka. Kenyataannya seperti Malaysia,Thailand dan Indonesia, masih terjebak dan terbenam makin jauh pada isu-isu populisme receh seperti politik identitas dan politik dinasti yang secara etikal merusak spirit kebebasan dan pembebasan yang menjadi cita perjuangan demokrasi.
Pemberangusan kelompok penekan (pressure group) dan oposan yang kritik terhadap kekuasaan di negara Asia Tenggara termasuk Indonesia menjadi peringatan keras bahwa pemimpin sipil pun yang terpilih dengan cara demokratis dapat menjalankan kekuasaan dengan cara otoriter. Pembubaran Hizbur Tahrir Indonesia dan FPI tanpa proses pengadilan menjadi bukti bahaya dari otoritarian sipil yang dapat menghambat kemajuan demokrasi dan kebebasan berekspresi kelompok sipil.
Situasi ini diperparah lagi oleh budaya politik uang dan dinasti di negara-negara Asia Tenggara yang makin subur terutama di Indonesia, kondisi kehidupan politik dan demokrasi sangat memprihatinkan. tidak ada rasa malu lagi, uang beredar bebas di arena pemilu memasuki pintu-pintu rumah, kamar, kampung dan bahkan bilik suara pemilih. Sudah hilang keluhuran budaya bangsa, sudah mati akal sehat, tidak berguna lagi ilmu sebagai parameter baik buruk. Lebih ironisnya lagi, agama pun sebagai pandangan hidup, pedoman perilaku dan petunjuk hidup yang lurus, seolah beku dan seketika mati suri menjadi fosil tak berdaya di arena pemilu.
Kesaktian ilmu, akal budi dan kesakralan agama memimjam istilah antropolog Evan Pitchard. Sia-sia tidak sanggup mencegah perilaku politik uang yang barbar. Harga diri manusia turun dititik nadir dalam pemilu dan dari pemilu ke pemilu karena dari ujung kepala sampai kaki konstituen dapat dengan mudah dibeli dengan uang. Tidak ada lagi kejujuran hati, kemuliaan diri, kehormatan manusia, prinsip hidup dan harga diri sebagai homo sapiens atau insanul kamil (manusia cerdas/sempurna). semua atribut simbolik manusia seperti pengaruh, jumlah anggota keluarga, dan pengikut punya harga dan nilai rupiah. Dalam pemilu kuantitas orang dan kualitas orang ikut miliki angka dan harga. Jasa dan simbol apapun serba ikut laku dan laris tereksploitasi dalam pemilu presiden dan pileg di negara kita.
Harusnya Identitas manusia sebagai makhluk politik yang berakal (zoon politicon) serta rasional meminjam istilah Filsuf Yunani Aristoteles tidak boleh terjual dan tergadai murah oleh pasar uang receh politisi. Pemilu sebagai mekanisme rotasi kekuasaan menurut Samuel Huntingt0n(1993) harus menjadi momentum memilih pemimpin yang kredibel. Anehnya pemilu kita direduksi makna dan nilainya menjadi politik bagi-bagi uang dan transaksi bansos bukan pertentangan ide dan gagasan yang deliberatif (membebaskan) publik dari kemiskinan, ketertinggalan, dan kesenjangan ekonomi. Nyatanya yang terjadi di lapangan, aktor dan pemilih di arena pemilu tidak lagi bicara lantang soal ide, program, gagasan. Keduanya, malah sama -sama ikut mabuk fantasi kekuasaan dan rela singkirkan etika dan nilai sebagai peradaban politik.
Hilangnya nilai-nilai kebaikan demokrasi sebagai public virtue (kebajikan bersama dan sebagai fatsoen politik menjadi pertanda kita telah berada di era matinya nilai yang dinamakan oleh Filsuf kenamaan Jerman Frederick Nietzhe sebagai ‘ Nihilisme ‘.
Realitas politik saat ini, tidak lagi diilhami oleh kecukupan pengetahuan, kesadaran logis, dan dibimbing oleh etika yang menjadi semacam agama bagi demokrasi. Jacques Rosseau pemikir demokrasi kenamaan Perancis bahkan menekankan pentingnya keutamaan kecerdasan dan ketinggian ilmu sebagai syarat mengelola negara. Pemimpin harus orang yang paling pintar diantara kamu ujarnya. Oleh karena itu, pemilu sudah saatnya menjadi titik balik yang fundamental untuk memilih pemimpin dan negarawan berkualiatas. Supaya nilai-nilai utama dari cita demokrasi yakni pemerintahan yang bersih, keadilan, kebebasan, kesetaraan, persaudaraan dan kesejahteraan benar-benar nyata dapat diwujudkan.
Jadi bukan hanya janji dan retorika politisi ketika musim pemilu tiba. Saya menyaksikan sendiri di pemilu 14 Pebruari 2024, proses pemilu belum mengalami proses transformasi yang mendasar. Belum ada pergeseran orientasi dan paradigma masyarakat soal pemilu. Pemlu presiden dan pileg tidak dilihat sebagai evaluasi dan seleksi pemimpin yang baik dan transformatif. Meski banyak calon yang tampil di level nasional, regional dan lokal dengan gagasan, visi, integritas dan intekeltualitas mumpuni. Belum cukup laku dipilih baik karena alasan tidak punya uang untuk beli suara maupun karena alasan popularitas yang minim.
Pemilih lebih menyukai caleg-caleg berkantong tebal, meski minim kapasitas ilmu dan pengetahuan tetapi mereka berani belanja suara. Demi berharap serangan fajar tidak ada ikatan keluarga yang akrab, hubungan sosial yang tulus, jasa dan modal sosial yang saling diingat. Interaksi dan relasi sosial sudah ikut berubah menjadi serba politis. Ketika pemilu tiba keluarga, teman, sahabat dan orang sekampung juga harus dibayar oleh caleg agar dapat suara dan dukungan politik. Nyaris tidak ada lagi kebaikan sebagai sesama manusia yang tersisa selain kegilaan terhadap uang. Kegilaan-kegilaan yang terjadi dalam politik ini, menjadi dasar Filsuf Bertrand Russel ikut menamakannya sebagai ‘ kegilaan peradaban modern’. Sulit ditemukan orang jujur, amanah dan dapat dipercaya saat pemilu.
Pemain (aktor), penyelenggara dan masyarakat pun sama-sama ikut bermain gila sehingga tidak jelas lagi, siapa mengawasi siapa, apa, dan bagaimana. Rambu dan regulasi hanya menjadi pernak Pernik pelengkap pemilu saja. Tidak ada aturan yang sunguh-sungguh ditegakan, kalaupun supremasi hukum ditegakan terkait pelanggaran pemilu biasanya hanya berlaku kepada lawan politik yang berseberangan bukan kepada kelompok dominan seperti petahana berkuasa, kerabat serta kelompoknya yang menguasai basis, jaringan dan sumber daya kekuasaan.
Situasi ini berdampak pada runtuhnya kredibilitas jalannya pemilu karena pasti setiap terjadi pelanggaran pemilu oleh klan yang berasal dari dinasti politik tertentu seperti kecurangan, i-netralitas, dan penggelembungan suara selalu berakhir dengan kompromi, akomodasi, dan transaksi di belakang meja. (silakan dibantah). Akibat dari buruknya kualitas penyelenggaraan pemilu yang terjadi, tidak heran Indonesia berada di peringkat ketiga sedunia dalam hal banyaknya politik uang (buying voters).
Negara kita hanya kalah dari Uganda, dan Benin. Secara akademis fakta menunjukan bahwa pengaruh politik uang terhadap pemilu relatif kecil, yaitu sekitar 10 persen. Namun politik uang dianggap sebagai penentu kemenangan kandidat. Itu sebabnya politik di seluruh Kawasan Asia dilakukan untuk mengatasi winning gap ( jarak untuk menang) dari competitor. Alasan ini menjadi petaka yang menyebabkan praktek politik uang (masih mengakar kuat mencengkram gagasan keterbukaan, kebebasan, kesetaraan dan keadilan yang diusung sebagai nafas panjang perjuanagn demokrasi.
Demokrasi yang dijalankan di negara-negara Asia Tenggara terutama di Indonesia dan Philipina gejala politiknya nyaris sama dapat dilihat dari bangkitnya klan dan dinasti politik baru setelah rezim Soeharto yakni dinasti Jokowi, Megawati, dan SBY. Ketiga klan dan trah politik ini justru menemukan momentum dan mengalami kontraksi politik dengan menumpang pengaruh besar kekuasaan Presiden Jokowidodo. Penunjukan AHY sebagai Menteri di cabinet Jokowi setelah 10 tahun menjadi oposan, tak ayal menegaskan adanya akomodasi dan upaya sistematis untuk menjaga hegemoni dan dominasi lewat rezim. Serangkaian manuver politik di Mahkamah konstitusi dan penggembosan partai PDIP oleh Presiden Jokowi yang meloloskan Gibran dan mempecundangi Ganjar Pranowo yang diusung resmi PDIP.
Fenomena bangkitnya politik dinasti juga terjadi di negara Asia Tenggara lainnya yakni Philipina Kemenangan Bongbong Marcos di Philiphina menegaskan ketatnya pertarungan politik klan Marcos dan Rodrigo Duterte keduanya merupakan anak mantan presiden Philipina sebelumnya. Fenomena politik keluarga di Philipina sangat kuat serupa dengan Indonesia, Thailand dan juga Malaysia. Hubungan politik yang didasari oleh ikatan-ikatan kekerabatan tentu cukup problematik dan negara-negara di Kawasan Asia Tenggara secara historis terutama Philipina dan Indonesia tampaknya kesulitan untuk melepaskan diri dari belenggu dan jerat politik dinasti. Walaupun melalui pemilu yang relatif demokratis , keluarga politik besar tetap memenangkan pemilu. Fenomena serupa pun bisa kita amati bagaimana kemegahan dinasti politik di Indonesia sebut saja trah politik Soekarno melalui Mengawati Soekarnoputeri-Puan Maharani di PDIP, Soesilo Bambang Yudoyono dan AHY di Partai Demokrat.
Perlawanan sengit terhadap politik dinasi dan dinasti politik di Indonesia marak sekali dilakukan melalui aksi demonstrasi dan protes oleh public rasanya belum mempan menyingkirkan parasit politik dinasti di era demokrasi modern.
Padahal politik dinasti akan menjebak dan menjeremuskan kepada pembentukan kekuasaan patrimonialistik. Di mana, kekuasaan diatur, dikuasai dan dikendalikan oleh segelintir anggota-anggota keluarga. Dinasti politik yang tengah berkuasa di Indonesia misalnya membungkam kritik publik lewat serangkaian tindakan teknokratis dan struktural kekuasaan untuk membungkam suara publik, oposisi dan lawan politik.
Para ahli seperti Aspinal menyebut situasi politik di Asia Tenggara umumnya masih menunjukan kecenderungan yang mengarah kepada otorianisme sipil yang canggih. Hal ini mengingatkan saya kepada Steven levitski dalam how democracy die yang menegaskan bahwa diantara tanda dari lonceng dan alarm kematian demokrasi adalah terpilihnya pemimpin-pemimpin ‘sipil’ dengan cara-cara demokratis tetapi mereka berwatak otoritarian.
Bisa kita lihat contoh kediktatoran komunis di Vietnam dan kamboja, rezim Polpot membunuh jutaan rakyat sipil dalam killing field tanpa belas kasih kemanusiaan dan nalar logis. Hal serupa juga mirip terjadi di Singapura yang pro Status Quo dengan sistem pemerintahan satu partai, dan kediktatoran monarki di Thailand dan militer Myanmar yang tega melakukan genosida sadis kepada jutaan etnis Rohingya. Kenyataan pahit lain bahwa seteah 78 tahun merdeka dan reformasi tahun 1998 praktek buruk demokrasi berbasis patronase di Indonesia dan Malaysia masih kokoh dan tangguh bercokol meski gelaran pemilu demokratis telah berulang kali dilakukan.
Demokrasi di Asia tenggara tidak akan pernah berdidi kokoh dilihat dari keadaan dan lintasan politik elektoral justru menghadapi era kemunduran baru lihat saja di Philipina, presiden Rodrigo Duterte telah merusak tatanan peradilan dan memberangus oposisi. Fenomena ini mirip dengan yang terjadi di Indonesia demi alasan dinasti politik dan politik dinasti mahkamah konstitisipun disalah gunakan untuk meloloskan Gibran rakabuming putra Presiden Jokowi.
Suara-suara kritis publik dan akademisi pun di hampir 70 universitas besar dan terkemuka dianggap oposan dan Tendesius. Jika di Laos, Kamboja, Brunei dan Vietnam tidak tanda reformasi berbeda dengan di indonesa reformasi sudah dilakukan untuk memberangus aneka kolusi, nepotimse, korupsi dan otoritarianisme. Mirisnya politik dinasti, kolusi dan korupsi justru marak membudaya seolah menemukan lahan baru untuk bertumbuh subur pasca reformasi dan pemilu 2024.
Kita bisa lihat bagaimana stagnasi dan kehancuran demokrasi di Indonesia telanjang terjadi. Tidak ada lagi etika, budaya, kejujuran, bahkan agama yang memandu arah jalannya politik dan demokrasi. Politik uang, konspirasi, kecurangan dan penyalagunaan kekuasaan nyata adanya, mobilisasi birokrasi dari presiden, menteri gubernur, walikota, bupati, aparat hukum bahkan di tingkat mikro kepala sekolah dan oknum guru-guru ditekan, diarahkan dan diancam mutasi demi muluskan jalan serta ambisi politik dinasti meraih kekuasaan.
Penurunan kualitas demokrasi nyata terjadi menggurita dan menyebar luas menjadi perilaku banalitas (umum/biasa) meminjam istilah Hannah Arrendt. Saya mencoba menghubungkan gejala masif dan sistemiknya praktek politik uang di Indonesia dengan praktek culas dan curang yang sama di sejumlah negara Asia Tenggara untuk menemukan akar dan sumber persoalan utama yang sama. Thailand misalnya setelah partai pendukung petahan, Palang Pracharat Partai , keluar sebagai peraih suara terbanyak. Sejumlah kecurangan ditengarai terjadi seperti surat suara tidak dihitung, angka kehadiran yang rendah dan politik uang.
B. Faktor-Faktor Muculnya dinasti Politik
Jika politik uang mewarnai penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia fakta yang mencengangkan sama juga terjadi di sejumlah negara Asia Tenggara. Sebut saja Filipina, Malaysia, Thailand, dalam pelaksanaan pemilihan umumnya banyak ditemukan konspirasi, kecurangan, penghianatan dan praktek politik uang. Pada empat negara yang saya sebut, menunjukkan bahwa banyak kemiripan pola dalam pelaksanaan politik uang dalam pemilu Misalnya serangan fajar di Indonesia juga dijumpai di Thailand dengan istilah The night of the barking dogs. Sementara di Papua Nugini hal tersebut dikenal sebagai Evil Night malam setan. Jadi Politik uang merupakan fenomena yang tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di beberapa negara Asia Tenggara. (hasil Riset, Edward Aspinal, 2023 Democracy for sale).
Politik uang makin mengganas dan menggila usai orde baru dampak dari gagalnya negara menghadirkan kesejahteraan bagi publik serta lemahnya kontrol masyarakat sipil terhadap penyelenggaraan negara.
Kuat dan besarnya hegemoni kekuasaan dinasti politik di Indonesia hampir sama dengan Vietnama, Malaysia dan di Philipna, gejalanya disebabkan oleh pertama, mahalnya biaya politik yang menghambat dan membatasi ruang gerak politisi potensial non-klan seperti akademisi, profesional dan praktisi untuk bertanding dalam kompetisi politik elektoral yang setara. Berbeda dengan anggota klan politik tertentu biasanya didukung oleh keku atan modal, jaringan pemodal, dan anggota keluarga lain yang sudah duduk dijabatan-jabatan politik strategis. Sehinga dengan mudah dapat melakukan konsolidasi, akomodasi dan mobilisasi organ-organ birokrasi, ormas, dan elite sosial-agama. Variabel kedua, baik di Indonesia maupun Philipina dan Kawasan Asia Lainnya umumnya bantuan klan politik kepada anggotanya yang berkompetisi bukan hanya berbentuk uang melainkan akses, jaringan dan pengaruh yang dapat dikonversi menjadi suara.
Sejumlah variabel politik dapat menjadi alasan fundamental terhadap maraknya dinasti politik muncul di beberapa negara Asia Tenggara secara khusus di Indonesia. Beberapa alasan dapat menjadi sebab kronis, mengapa politik dinasti bisa merebak luas. Beberapa diantaranya seperti besaran wajib ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang harus mencapai 20 persen kursi atau 25 persen suara sah, berkontribusi terhadap kemungkinan munculnya politik dinasti atau kekerabatan.
Tingginya besaran ambang batas membuat akses pencalonan dalam proses pilkada menjadi terbatas hanya kepada segelitir elite klan, trah dan dinasti poltik tertentu yang memang sudah padat modal, pengaruh dan akses politik. Demikian juga dengan dipresulitnya syarat calon perseorangan untuk maju dalam pilkada menjadi penyebab munculnya dinasti politik. Padahal keberadaan calon perseorangan dinilai penting untuk menghadirkan calon alternatif. Akhirnya akses politik menjadi sempit dan terbatas hanya pada kelompok tertentu.Faktor lain tentu karena mahalnya biaya politik juga ikut berkontribusi menghadirkan politik dinasti dan politik uang dalam jual beli tiket pencalonan. Rendahnya kesadaran masyarakat dalam mengevaluasi politik dinasti turut memperparah dan membuka kases yang lebar bagi mucul dan bertahannya dinasti politik di sejumlah daerah dan negara di Asia Tenggara.
C. Problem pemilu di Indonesia
Saya berharap dengan terpuruknya praktek demokrasi di Asia Tenggara dan secara khusus di Indonesia mendorong perlunya kerjasama internasional baik bilateral dan multilateral untuk membalikan keadaan. Tentu dalam isu demokratisasi, peningkatan kapasitas partai politik, penyelenggara pemlu, Pendidikan politik, partiisipasi publik dan akses terhadap regulasi pemilu. Mengapa ini penting dilakukan karena jika kita melihat desain dan arsitektur penyelenggaraan pemilu kita. Seolah sengaja dirancang dengan sejumlah celah hukum ( yuridis) dan antropologi.
Pertama, harus diakui jujur bahwa sistem rekrutmen penyelenggara pemilu dari bawaslu pusat hingga daerah dilakukan secara formalitas dan berjalan secara politis. Tidak ada rigiditas (ketetatan) misalkan semua pelamat tidak ada verifikasi linearitas kelimuan, pengalaman kepemiluan, pengetahuan kepemiluan dan gagasan mutakhir tentang model penyelnggaraan pemilu yang ditawarkan sebagai alternatif solusi jika pemilu berjalan tidak sesuai harapan. Oleh karena itu, idealnya penyelenggara pemilu seperti bawaslu dan kpu di semua tingkatan harus memiliki pengetahuan dasar tentang hukum karena persoalan pemilu adalah soal hukum. Pemiliu bicara tentang regulasi, kontestan diatur rambu hukum, pelanggaran ditindak secara hukum, kampanye diatur hukum, pemasangan baliho harus sesuai aturan hukum, tahapan pemilu berjalan menurut hukum, sosialisasi harus indahkan ketentuan hukum, pemungutan suara ulang (PSU) juga ada alas hukum. Jadi bisa dibayangkan kompleksnya tantangan pemilu baik dari sisi aturan maupun implematsinya di masyarakat jika komisioner bawaslu dan KPU hanya yang amatiran.
Persoalan kedua, bukan rahasia umum jika penyelenggara pemilu rata-rata orang titipan partai politik tertentu. Ada sejumlah akademisi, praktisi dan profesional lain yang ikut seleksi tetapi tanpa sowan atau rekomendasi ketua partai politik dapat dipastikan sulit lolos. Apalagi di level penyelenggara tingkat provinsi dan kabupaten selain rekomendasi oknum-oknum ketua partai politik di daerah harus juga diamankan oleh partai-partai di pusat yang berkepentingan untuk menitipkan orang dalam di internal penyelanggara pemilu. Inilah akar persoalan yang menyingkirkan aspek dan prinsip profesionalitas dalam menjaring penyelenggara pemilu yang kredible, imparsial, fair dan intelektual.
Pikiran saya mungkin terkesan utopis dan ideal tetapi sampai kapan proses-proses politik yang tidak fair ini dibiarkan berjalan tanpa upaya evaluasi dan pengawasan kritis publik. Dari pemilu ke pemilu integritas penyelenggara pemilu yang direkrut dengan cara -cara politis dan tranksaksional telah membawa impliaksi buruk. Penangkapan sejumlah oknum komisioner bawaslu karena korupsi di pusat dan daerah bahkan menyebar sampai di kecamatan-kecamatan makin memperkeruh suasana batin publik yang berulang kali keceawa karena ternyata wasit pemilu yang harusnya menjaga kejujuran, kerahasiaan, kebebasan dan kelangsungan pemilu juga ikut bermain di arena kontestasi.
Persoalan ketiga, soal data pemilh yang amburadul dan integritas penyelenggara pemilu yang rendah. Sulit menghasilkan pemilu yang berkualitas jika penyelenggara pemilu tidak memiliki cukup integritas. Sering kali aroma konspirasi di setiap pemilu menghangat dibicarakan publik bahkan santer terdengar menyeruak di publik.
Jika caleg inginkan banyak suara maka, bisa bermain mata dengan membeli suara sisa/lebih dengan oknum penyelenggara pemilu. Salahkah jika praktek ini marak dan meluas berulang-ulang terjadi. Jawabanya bisa realtif beragam tergantung dari dan disudut mana kita lihat dan berdiri. Jika dilhat dari pola rekrutmen tentu bisa dimaklumi mereka jadi calo suara untuk oknum partai tertentu dan tokoh tertentu karena ada konpensasi dan hutang budi yang harus dibayar kembali karena mereka terpilih sebagai penyelenggara karena jual nama besar partai, kharisma dan pengaruh tokoh partai, dalam politik ini di disebut dengan (trading influence).
Mereka hanya setia kepada partai dan ketua partai. Kerja-kerja kepemiluan dan tugas-tugas pengawasan cenderung dilakukan secara normatif gugurkan kewajiban. Dari pusat sampai daerah penyelenggara pemilu direktur untuk memudahkan dan melancarkan jalannya pemilu tetapi karena dari awal direkrut, ada konflik kepentingan menyeret mereka ke dalam arus kepentingan partai politik yang menitipkan. Sehingga jika terjadi pelanggaran pemilu baik penggelembungan suara, curi start kampanye dan politik uang jarang tuntas diatasi oleh penyelenggara pemilu. Apalagi kalau menyangkut partai besar, partai penguasa dan ketua partai. Jika kondisi ini berlanjut maka, politik dinasti dan dinasti politik akan terus bertambah tumbuh dan berkembang secara pesat di Indonesia dan akan menyebar di seluruh daerah. Maka, akan merusak etika, tatanan dan fungsi demokrasi yang mementingkan adanya sirkulasi elite yang ada dan distribusi kekuasaan yang adil. Politik dinasti dan dinasti politik adalah parasit yang setiap waktu dapat menjadi bom waktu yang memberangus demokrasi dan prinsip-prinsip yang diperjuangkannya.
*****