Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Rabu, 01 Mei 2024

Wajah Baru Praktik Korupsi di Era Birokrasi Patrimonial

 

Dr. Alfisahrin, M.Si (antropolog politik)

Wakil direktur III Politeknik MFH dan Staf Pengajar Ilmu Sosial politik dan Komunikasi Upatma Mataram.


Mataram, Inside Pos,-

Opini: Dr. Alfisahrin, M.Si


Kasus korupsi di era birokrasi modern merupakan sebuah fenomena patologi sosial politik yang cukup memprihatinkan karena telah mengakibatkan kerugian negara mencapai 230 triliun tahun 2023. Maraknya korupsi di Indonesia menyebabkan rendahnya investasi, mendistorsi alokasi sumber daya dan menurunkan produktivitas belanja publik dan parahnya mendegradasi kualitas pembangunan.  Praktek korupsi yang kini tengah menggila di kalangan penjabat negara ditengarai terjadi banyak faktor dari soal gaya hidup hedonistik hingga perilaku serakah (corruption by greedy). 


Terbaru kasus Harvey Moeis suami artis Dewi Sandra  yang melakukan korupsi 171 triliun cukup menyita perhatian publik di tanah air. Perilaku korupsi dalam beragam bentuk, pola dan modusnya pun semakin canggih dan kreatif, Sungguh ironis hanya karena urusan di atas dan di bawah perut banyak penjabat negara rela gadaikan integritas dan terjerat kasus korupsi. Ada pejabat yang rela disuap, mau diberi gratifikasi, melakukan mark up dan menagih fee proyek pada kontraktor.


Tidak terhitung berapa banyak operasi tangkap tangan yang telah dilakukan KPK dan menjebloskan para koruptor ke jeruji besi namun kenyataannya sanksi hukum yang berat pun tidak memberi efek jera dan menyurutkan niat korupsi pejabat negara di Indonesia.  Praktek kotor korupsi dan suap dalam birokrasi kita telah mengakar dan meggurita di hampir semua level pelayanan birokrasi dari pemerintah pusat  menyebar hingga ke daerah tanpa kendali. Tidak heran publik pun kehilangan trust/kepercayaan dan legitimasi etik dan moral terhadap penyelenggara negara.  Rentetetan kasus demi kasus korupsi yang terjadi  di tanah air tidak pernah menjadi pelajaran berharga tentang cacat dan  tercelanya perilaku   korupsi. Kejahatan korupsi sudah dianggap sebagai peristiwa biasa yang lazim terjadi atau banalitas dalam istilah Hannah Arrendt Sehingga lembaga-lembaga anti korupsi yang dibentuk seperti KPK, kejaksaan, serta kepolisian ikut  frustrasi dan kehilangan akal dalam mencari-cari akal untuk memberantas praktek buruk korupsi di negara.

 

Korupsi merupakan permasalahan pokok dan tema sentral  dalam isu birokrasi Indonesia dan  praktek korupsi sebagai sebuah kejahatan ekstra ordinary crime (kejahatan luar biasa). Saat ini episentrumnya peristiwanya tidak lagi sekedar monoton  terjadi pada  penjabat elite di pemerintah pusat tetapi penyakit korupsi pun telah  menjadi wabah dan bencana pada unit-unit kekuasaan mikroskopik (terkecil) seperti di pemerintah desa. Dalam catatan KPK korupsi dana desa mencapai 529 kasus tahun 2024. Sebaran kasus korupsi juga trennya semakin  meluas dan  meningkat di sektor pendidikan bahkan dalam kurun waktu 6 tahun terkahir negara mengalami kerugian 1, 6 triliun dari korupsi pendidikan. Jadi hampir  tidak ada lagi institusi birokrasi negara yang bersih, tidak tercemar dan terlibat dalam praktek korupsi. Pertanyaanya, kepada siapa lagi kita dapat berharap, sekelas lembaga pendidikan seperti universitas sebagai benteng moral dan penjaga  etik pun di dalamnya menjamur praktek korupsi. Sehingga tidak terhitung berapa banyak rektor, dekan, dan penjabat kampus yang terpaksa duduk meringkih sebagai pesakitan di pengadilan karena diringkus KPK akibat skandal korupsi. 


Terbaru KPK bahkan merilis sejumlah nstansi atau lembaga pemerintah terkorup di Indonesia tahun 2023, Lembaga ini dianggap produktif menyumbangkan para koruptor urutan pertama, ditempati pihak swasta (404 tersangka), kedua, pejabat pelaksana eselon 1 sampai 4 (351pejabat/persangka)-  ketiga, Lembaga legislatif (DPR) (344 tersangka). Keempat, Gubernur/walikota (176 tersangka). Kelima, Hakim (31 tersangka) dan keenam, pengacara (18-orang tersangka). Ketujuh komisioner dan korporasi ( delapan tersangka), Depalan, jaksa (11 tersangka) dan polisi (5 orang tersangka).

Gurita korupsi ini semakin mengkonfirmasi betapa buruknya tata kelola birokrasi pemerintah dan pelayanan publik di negara kita. Hampir semua sektor ada korupsi dan koruptornya bahkan nyaris setiap jenis pelayanan ada upahnya (gratifikasi). Oknum penjabat negara tidak ubahnya predator yang memanfaatkan relasi kuasa dan otoritas sebagai jalan pintas untuk memperkaya diri dan kerabat. Birokrasi kita kini menjadi sarang korupsi dan  seolah berjalan secara mekanis karena menjadi alat untuk mengeruk uang bagi penjabat. 


Aspek  pelayanan humanis dari birokrasi seperti altruis, total, berkualitas dan memuaskan  sudah sukar ditemui dalam wajah birokrasi kita. Ruang-ruang elite birokrasi memnjam istilah Gregory Losanov sudah ‘diorkestrasi’ oleh pejabat-pejabat feodal yang dikendalikan seperti robot oleh fitur-fitur kontrol penguasa. Mereka umumnya menghamba penuh pada kekuasaan dan dirinya sendiri tanpa banyak perduli pada nasib rakyat. Kondisi buruk ini terjadi menurut saya karena birokrasi tidak lagi diterjemahkan secara esensial sebagai fasilitas untuk memajukan kesejahteran umum dan sarana untuk meningkatkan kepuasan publik terhadap kinerja kekuasaan. Birokrasi sebagai mesin pelayanan public harusnya  tidak boleh menempatkan diri sebagai korporasi yang mind set nya berdagang dan jual beli jasa dalam mengurus dan mengatur kepentingan rakyat.  Sebaliknya birokrasi sebagai sebuah struktur meminjam istilah Jean Claude Levistrauss  harus melayani rakyat sesuai fungsi, azas, dan prinsip  profesionalitas bukan ambil untung pribadi dan rugikan kepentingan rakyat. 


Carut marut dan gentingnya korupsi yang mengepung seluruh episentrum birokrasi di Indonesia semakin membenamkan  kekuasaan politik negara kepada praktek klepto-birocracy atau birokrasi yang di kelola dan diatur oleh para bandit pencuri. Kondisi gawat dan genting korupsi akibat ulah pejabat korup oleh Giorgio Agamben Filsuf politik Italia menyebutnya dengan ‘ situasi kedaruratan’ negara. 


Jenuh, kaget, geram bahkan frustrasi setiap hari kasus korupsi menyeruak muncul di berita-berita tv dan koran padahal upaya-upaya preventif pencegahan korupsi bahkan  meningkat 37, 09 persen dengan  anggaran mencapai  1, 3 rriliun pada tahun 2022 dan 1, 204 triliun 2023. Ada apa dan mengapa banyak orang-orang baik yang terdidik dan cendekiawan ketika berada dalam posisi dan panggung birokrasi bermental korup. Untuk menjawabnya saya teringat dengan dua sifat dari birokrasi yang digambarkan oleh filsuf besar Jerman karl Marx, pertama birokrasi  adalah organisasi yang parasitic dan kedua, eksploitatif. Oleh karena itu, ketika seorang ada dalam birokrasi dia bisa numpang hidup dalam tubuh kekuasaan dengan memanfaatkan kewenangannya (parasitk).


 Besarnya otoritas dan priveledge yang dimiliki sebagai pejabat tidak jarang menjadi sebuah kesempatan dan alasan untuk mengeksploitasi orang lain seperti meminta pungli,  fee, gratifikasi bahkan memeras. Menurut saya, birokrasi dalam perspektif kaum Marxisme merupakan isntrumen bagi kelas yag berkuasa (rulling class) untuk mengekspolitasi kelas yang lain (yang dikuasai). Dalam konteks demikian birokrasi berfungsi structural, kultural dan politis untuk mempertahankan priviledge dan status quo bagi kepentingan kelas kapitalis. Realsi kuasa yang kental antara penguasa dan penjabat negara yang pragmatis dan transaksional telah banyak memakan korban dan menjerumuskan sederet  nama beken pejabat tinggi negara seperti mantan Menpora Andi  Malaranggeng, Imam Nahrowi, Harun Masiku, Juliari Batu Bara, Johni G.Plate, dan yang teranyar dilakukan oleh Menteri pertanian Syahrul Yasin Limpo cukup mengguncang dan melukai batin masyarakat yang tengah dihimpit oleh aneka masalah pelik dalam negeri. 


Soal rendahnya harga jagung, tingginya harga beras, penggusuran di rempang, kebakaran hutan di Gunung Bromo dan kekeringan luas yang merambah banyak daerah menyebabkan banyak petani menderita kerugian karena gagal panen dan ancaman  jerat hutang yang menggunung menanti. Tiba-tiba di tengah hiruk pikuk dan lalu lintas peliknya masalah bangsa publik pun  dihantam berita besar korupsi mantan Walikota Bima HM.Lutfi yang resmi ditetapkan tersangka oleh KPK beberapa waktu yang lalu. Kejadian miris ini menjadi musibah dan petaka bagi pemerintah Kota Bima. H.Lutfi sosok yang dikenal ramah, politisi berpengalaman dan memiliki jam terbang di tingkat nasional tiba-tiba terjerembab dan jatuh  dalam pusaran korupsi yang mencengangkan. Perasaan iba dan simpati rasanya manusiawi dialamatkan kepada beliau. 


Akan tetapi itu tidak cukup untuk mencari tau akar dan sumber masalah, mengapa sekelas Walikota tajir melintir seperti H. Lutfi bisa ikut terseret dalam kasus tercela korupsi. Apakah ini murni tindak pidana korupsi semata atau ada keterlibatan permainan politik (political game) dari rival politiknya. Peristiwa dan kasus korupsi di Indonesia memang tidak an sich berdiri sendiri tetapi melibatkan banyak sekali variabel sosial politik dan ekonomi.


Saya menduga buruknya sistem partai  politik menjadi satu alasan maraknya praktek korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah. Biaya untuk membeli satu partai politik pengusung di bursa pencalonan di arena pilkada tidak murah bahkan sangat mahal. Calon dengan modal cekak tentu akan sulit  bertarung dan dengan sendirinya akan tersingkir dari gelanggang perebutan partai pengusung. Calon kepala daerah tentu tidak cukup hanya mengandalkan  satu partai politik saja sebagai modal menang tetapi butuh beberapa partai politik tambahan untuk memenangkan pertarungan di pilkada. Bukan rahasia umum jika mau jadi Gubernur, Bupati dan walikota di republik harus menyiapkan  puluhan hingga ratusan miliar uang pribadi. 


Dalam konteks ini politik dan segala aksesoris serta atribut permainannya tidak lebih dari sekedar orang  berjudi dan mengundi nasib. Ketika menang pun para politisi terpilih, mereka bukan lekas bergegas mengatur posisi dan strategi agar menyusun kebijakan yang mensejahterakan rayat melainkan segera berpikir bagaimana agar ongkos dan modal politk cepat kembali. Segala  cara pun  dilakukan dari jual beli jabatan, jual proyek, tarik fee proyek, mark up, penggelapan hingga proyek fiktif. Jadi menurut saya, Akar dan masalah korupsi kepala daerah bersumber dari biaya politik yang tinggi menyebabkan kepala daerah menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) yang dimiliki. 


Faktor lain adalah intensifnya kerabat dan keluarga ikut serta mengatur, memengaruhi dan memutuskan kebijakan-kebijakan strategis birokrasi seperti mengatur proyek, menetukan pemenang tender, dan mengatur pejabat yang mengendalikan anggaran strategis. Tidak jarang dapur inti birokrasi terutama di birokrasi daerah diatur oleh  kerabat dekat seperti istri, ipar, mantu dan kolega. Ini juga terungkap dalam kasusu korupsi eks Walikota Bima HM Lutfi dalam dalam fakta persidangan di pengadilan  tipikor   Mataram. 


Pentetrasi kepentingan kerabat penguasa dalam birokrasi menjadi sumber utama masalah korupsi karena fungsi dan  aturan ketat pengawasan dalam birokrasi macet (disfungsi) tidak berjalan karena adanya hubungan darah dan genealogis kekerabatan (patrimonial). Rata-rata korupsi dalam dinasti politik terjadi karena kekuasaan diatur dalam relasi dan ikatan-ikatan kekerabatan yang disebut dengan (patrimonialistik). Kasus ini juga terjadi pada  kasus korupsi dinasti politik  Ratu Atut di Banten,  Dodi Reza Alex Nurdin di Sumatera, Fuad Amin di bangkalan,  Syaukani Hasan Rais di Kutai, Sri Hartini di KlatenAtty Suharti di Cimahi dan Puput Trantiana di Probolinggo. Rentetan  peristiwa korupsi dari dinasti-dinasti politik ini tidak hanya mengguncang legitimasi pemimpin terpilih dan birokrasi pememrintah yang terhormat  tetapi juga melahirkan pertanyaan mengenai masa depan demokrasi Indonesia. tidak ada birokrasi di negeri ini yang luput dari jenis penyelewengan. Korupsi telanjur melekat dalam struktur birokrasi Indonesia, bahkan sebelum terbentuknya republik ini.

Dengan kata kata lain, birokrasi pemerintah telah berubah menjadi sumber kekuasaan dan kekayaan pejabat, baik melalui penjarahan uang dan kekayaan negara maupun penindasan dan pemerasan rakyat. Sebab, fungsi penyelenggaraan pemerintahan bukan lagi untuk kepentingan rakyat. Sejak lama maknanya ditransformasikan menjadi kekuasaan atas rakyat, seperti halnya negara menguasai kekayaan alam dan isinya. Sistem demikian mirip parasit dalam kehidupan bangsa dan negara. Kelangsungan hidupnya ditopang uang yang diisap dari rakyat.Hidup di bawah sistem demikian menjadi tidak nyaman. Ketika bayi lahir, misalnya, mesin pungutan liar sudah menunggu di kantor catatan sipil. Tanpa uang pelicin, akta kelahiran tidak akan keluar. Setelah sang bayi menjadi dewasa, ia akan berhadapan dengan praktik pungutan liar yang lebih ganas. 


Mulai dari mengurus kartu tanda penduduk, surat keterangan berkelakuan baik, paspor, surat nikah, hingga saat akan dimakamkan. Sepanjang  sejarah RI sudah beragam undang-undang, keputusan presiden, dan kebijakan politik yang diterbitkan, termasuk pembentukan tim dan komisi-komisi antikorupsi. Namun, seperti halnya film nasional, cukup membaca judulnya sudah dapat ditebak penutupnya. Semua berakhir gagal membasmi korupsi. Bahkan tidak berhasil mencegah derap majunya. Kalaupun masih ada yang optimistis dan menaruh harapan kepada aparat penegak hukum dan keadilan, mereka hanyalah pemimpi dan buta terhadap kenyataan. Hasil penelitian belum lama ini menunjukkan, tumor korupsi justru lebih ganas menggerogoti kedua lembaga tersebut.

Pergantian rezim, entah itu dari Orde Baru ke Orde Reformasi, dari militer ke sipil, dan kemudian kombinasi militer-sipil, tetap tidak mengubah birokrasi menjadi sehat. Max Weber menyebut birokrasi legal-rasional. Institusi yang menggerakkan masyarakat modern.Di era Reformasi, korupsi malah menjalar hingga ke lembaga legislatif. Banyak unsur pimpinan maupun anggota DPRD tingkat I dan II periode lalu terpaksa mendekam di penjara akibat menjarah uang rakyat. Di tingkat nasional, ketua DPR dan wakil ketua MPR juga sempat meringkuk di sel tahanan Kejaksaan Agung. Termasuk Gubernur Bank Indonesia. Ironisnya, mereka berkuasa dan memberi perintah dari balik terali besi tersebut. Tidak ada bangsa dan negara di dunia yang melakukan hal seburuk ini. Bahkan tidak ditemukan di negara yang dilanda perang saudara, seperti di Afrika.


Lantas dari mana semua sumber borok birokrasi ini?


Sejarah birokrasi di Nusantara bermula dari era tanam paksa. Namun, seperti ditulis JI (Hans) Bakker dalam Bureaucratization of Patrimonialism: Colonial Taxation and Land Tenure in Java, 1830-50, Cultuurstelsels (tanam paksa) tidak memodernisasi Jawa. Kebijakan kolonial memerintah secara tidak langsung cenderung memperkuat struktur kekuasaan lokal yang bersifat patrimonial. Akibatnya, seperti dikemukakan Clifford Geertz, hanya aspek administratif birokrasi yang dimodernisasi secara relatif, sementara struktur dasarnya tetap sama. Maka ketika tahun 1870 dilakukan upaya perubahan struktural dalam sistem politik di Pulau Jawa, sisa stelsel lama tersebut merintanginya. Upaya kolonial Belanda membangun birokrasi legal-rasional sebagian besar tidak efektif. Ditambah pendekatan yang lamban dan terlalu berhati-hati, Belanda gagal membentuk pemerintahan modern.


Dalam Patrimonialism, Involution, and The Agrarian Question in Java: A Weberian Analysis of Class Relations and Servile Labour, Bakker mencoba menjelaskannya lebih detail dengan menganalisis hubungan pusat-pinggiran. Antara kepentingan elite merkantilis di Belanda, yang diwujudkan dalam kebijakan indirect-rule, dengan kepentingan penguasa lokal mempertahankan kekuasaan yang bersifat patrimonial. Sosok birokrasi patrimonial itu sendiri menjadi jelas jika dibandingkan dengan birokrasi legal-rasional. Max Weber menyebut beberapa karakteristik birokrasi legal-rasional. Antara lain, pembagian kerja dan spesialisasi tugas, peraturan hubungan atasan-bawahan yang bersifat impersonal dan rasional, pemisahan antara milik publik dan pribadi, serta loyalitas birokrat pada perintah atasan yang bersifat impersonal. Sedangkan perekrutan didasarkan pada kualifikasi formal serta uji kemampuan. 


Dengan sendirinya penempatan seseorang pada jabatan tertentu ditentukan kemampuan dan prestasi. Sebaliknya dalam birokrasi patrimonial, pembagian kerja dan tugas tersebut tidak jelas. Hubungan atasan-bawahan bersifat personal, tidak membedakan milik publik dan pribadi, serta loyalitas kepada orang yang memegang jabatan di atasnya. Perekrutan didasarkan pada hubungan keluarga, perkoncoan, dan parpol. Demikian pula penempatan seseorang pada jabatan tertentu. Setelah terbentuknya RI, aspek legal-rasional diadopsi sebagai landasan birokrasi pemerintah, termasuk sumpah jabatan. Dalam Fall from Grace: The Political Economy of Indonesian Decay and Decline (2001), Dr Jason Abbott lebih cenderung menggunakan istilah neo-patrimonial. Dalam arti, dominasi patrimonial (Herrschaft) yang hidup di tingkat keluarga, desa, dan hubungan sosial lainnya diterjemahkan dalam sistem politik dan administrasi.


Wujudnya menjadi mirip hubungan patron-klien di desa, yang diperluas menjadi KKN dalam jajaran birokrasi. Dalam sistem yang lahir dan bertahan hampir dua abad ini, perubahan rezim hanyalah sebatas pergantian patron-klien yang berkuasa. Dengan sendirinya melanjutkan korupsi berjamaah. Sebab struktur dasarnya tetap patrimonialisme warisan kuno. Hal seperti ini juga berlangsung dalam birokrasi parpol. Untuk mencegah praktek buruk korupsi memang tidak mudah tetapi saya menyarakan perlunya penguatan kapasitas kelembagaan KPK, kemudian tingkatkan masa hukuman pelaku korupsi jangan mudah obral grasi, Terapkan hukuman mati,perbaiki sistem rekruitmen penengak hukum dengan menyeleksi pejabat berintegritas tinggi dan perkuat pengawasan dan hapus cela korupsi dengan pelayanan public berbasis on line agar tercipta clean government dan clean public service. 


***

Senin, 22 April 2024

Sirkulasi Elite Mandeg, Praktek Gerontokrasi Politik Hantui demokrasi Indonesia

Dr. Alfisahrin, M.Si

Mataram, Inside Pos,-

 Memotret Rivalitas dan Hegemoni  kaum Tua Terhadap Generasi Muda Dalam Politik 

Oponi: Dr. Alfisahrin, M.Si
(Antropolog Politik, Wakil direktur III Bidamg Kemahasiswaan dan staf  pengajar di Fakultas Ilmu sosial politik dan komunikasi Universitas 45 Mataram).

 

Dunia politik kontemporer Indonesia akhir-akhir ini semakin menarik untuk dikaji dan perbincangkan secara akademis maupun praksis.   Beberapa diantaranya adalah soal lambannya regenerasi dan transformasi kepemimpinan di tingkat elite politik nasional hingga daerah. Sementara ada realitas politik global baru yang menganga lebar dan  tengah menjadi tren politik  global yakni munculnya tokoh-tokoh politik muda.


Berdasarkan hasil pengukuran indeks yang dilakukan Economist Intelegence Unit Democracy Index 2022 menempatkan Indonesia pada urutan 101 dari 147 negara dalam hal regenerasi politik dengan rata-rata usia anggota DPR mencapai 51, 6 tahun. Di sisi lain, sejak satu dekade terakhir, dunia dikejutkan oleh munculnya sosok muda dipanggung politik seperti Sana Marin di Finlandia, Jacinda Adern di Finlandia, Gabriel Boric di Chile,, Jason Trudeau di Kanada dan Emanuel Macron di Prancis.


Politik dan demokrasi global dapat menjadi parameter dan tolak ukur bagi kemajuan maupun kemunduran dari kehidupan politik (bios politic) suatu negara. Sayangnya demokrasi dan kehidupan politik di Indonesia masih di dera oleh soal-soal klasik yang pelik serta tidak pernah kunjung terselesaikan,  akibatnya praktek dan esensi politik kita macet dan stagnan  tidak mampu bergerak maju secara evolusionis dengan keluar mengikuti jejak dan  dinamika  politik i global yang semakin trasnformatif. Demikian pula dengan proses terjadinya sirkulasi elite kekuasaan politik  masih dihambat dan terjebak pada serangkaian pernak pernik  dan ritus, demokrasi formalistik seperti pemilu dan kampanye politik. 


Begawan politik kenamaan Amerika Schumpter menyebut ‘ situasi ‘ini  denngan demokrasi prosedural bukan demokrasi substansial yang menghadirkan perwujudan dari saripati inti  demokrasi yakni terciptanya  kesejahteraan, tegaknya keadilan, dan kesetaraan publik

Saat ini, arsitektur politik nasional dan daerah terutama di partai politik nyaris masih dikuasai oleh kaum tua sejak orde lama hingga orde baru wajah dan postur politik Indonesia panoramanya tetap kental didominasi oleh generasi tua. Ada sejumlah jawaban atas terjadinya  stagnasi dan bukan reformasi politik yang mendesak untuk segera dilakukan.


Adanya  status quo  di tubuh partai politik, panggung parlemen dan   birokrasi ditengarai karena terjadi karena adanya dominasi penguasaan  alat produksi, basis jaringan dan infrastruktur ekonomi lainnya oleh kaum tua. Selain itu, proses dan tata kelola serta sistem pemilu di negara kita, setiap periode  mengalami kenaikan biaya sangat tinggi (high cost politic).. Realitas tersebut, membuat generasi muda seketika ciut nyali, takut, antipati, masa bodoh dan lari terbirit-birit  menjauhi politik. Yakin saja seperti kata Erdogan Presiden Turki saat orang baik tidak berpolitik maka, orang jahat yang akan berkuasa.


Dunia sudah berubah jauh sekali dan segala dimensi kehidupan pun telah mengalami apa yang disebut oleh Fritjof Capra dengan ‘krisis multidimensi’ di mana soal politik mempengaruhi stabilitas ekonomi dan soal ekonomi dapat menciptakan krisis politik, pangan, pendidikan, kesehatan bahkan agama. Orang miskin dan lapar mudah terpapar oleh wabah fundamentalis dan anarkis. Tampuk kepemimpinan politik di beragama level yang diemban dan dimandatkan kepada kaum tua dalam proses-proses yang demokratis justru tanpa bermaksud melakukan generalisasi. 


Menurut saya justru  menyuburkan praktek politik lama orde baru yang koruptif, nepotis, klientalis dan transaksional. Berbanding lurus dengan perkembangan politik global yang mengalami transformasi dan introduksi kepada nilai dan gagasan politik baru seperti digitalisasi data birokrasi, elektronik vote, elektronik trading, elektronik political institution, electronic public service, dan electronic natural and human resources. 


Gagasan ini hanya dapat diterjemahkan dalam kultur dan praktek politik Indonesia apabila ada arah baru paradigma dan sistem politik yang dikembangkan, Misalnya mengubah syarat kontitusi batas syarat calon dari 40 tahun menjadi 25-30 tahun. Minus Gibran yang  menurut saya terlalu dipaksakan dan tidak proporsional disertakan sebagai kontestan pilpres saat ayahnya masih menjabat presiden aktif. 


Dalam pengamatan saya, mengapa anak-anak muda hebat di daerah-daerah meski sarat dengan segala potensi dan modal simbolik seperti intelektualitas, kapasitas dan prestasi berderet menjulang tinggi. Kaum muda terdidik dengan gelar, keahlian dan merupakan alumni dari kampus-kampus terkemuka dunia. Faktanya keterlibatan dan partisipasi kaum muda dalam politik pada tingkat nasional dan regional  di banyak level kompetisi politik masih sangat rendah.


Kondisi ini yang digambarkan oleh Barbara White (2001) bahwa politik Indonesia pasca orde baru sebagai ‘ regenerasi ’dari aktor-aktor tua yang menguasai sebagian besar atau seluruh jaringan bisnis dan perdagangan di masa lalu lewat kebijakan monopoli dagang yang difasilitasi oleh rezim. Elite-elite yang dekat dengan kekuasaan rezim orde baru  karena mendapatkan aneka fasilitas dan priveledge dari negara bisnis mereka untung besar dan seketika membentuk konglemarasi.


Pasca rezim orde baru tumbang dan  digantikan oleh era reformasi seolah menjadi momentum yang lama ditunggu aktor-aktor politik tua dengan modal ekonomi, jejaring  bisnis yang menggurita dan relasi luas yang tersebar di dari pusat hingga daerah dapat dengan mudah menguasai dan mengalahkan aktor-aktor politik muda di panggung politik. Alasan sederhananya karena kaum muda hanya mengandalkan idealisme, gagasan, dan reputasi intelektual sebagai modal. 


Padahal dalam dunia politik yang keras dan culas ide, gagasan dan visi misi juga program kerja tidak lebih penting dari uang. Hal ini menjadi  alasan, mengapa kaum i muda yang tampil berpolitik di Indonesia dapat ditaklukan dan disingkirkan  dengan kejam, mudah, dan tanpa belas kasihan di arena politik oleh para taipan dan oligarki.


Dominasi aktor-aktor politik tua sebenarnya bukan perkara baru yang tiba-tiba baru  muncul dalam dunia dan panggung politik kontemporer. Secara antropologi dapat ditelusuri jauh bahwa di masa lalu  secara budaya dan politik. Orang-orang tua ‘ dianggap ‘ sebagai sumber pengetahuan, kearifan, ketangkasan (dexterity), dan lumbung pengalaman.  


Oleh karena itu, posisi kaum tua dalam beragam peran sosial, ekonomi, keluarga, dan politik yang dimainkan dianggap belum sepenuhnya dapat digantikan oleh kaum muda. Alasan historis dan kultural tersebut, menjadi alasan mengapa praktek dan budaya gerontokrasi dalam politik Indonesia terus bertahan.


Gerontokrasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pemerintah atau badan pemerintahan yang dikendalikan oleh orang-orang tua. Gerontokrasi adalah sebuah relasi sosial. Lazimnya gerontokrasi secara ilmiah suatu konsep yang didesain untuk memberikan pengertian dan  gambaran tentang keadaan suatu masyarakat yang dalam banyak aspek terutama kehidupan politik dikendalikan oleh orang-orang yang telah tua. Ciri umum yang melekat pada kepemimpinan model gerontokrasi adalah konservatif, lambat, dan kaku. 


Gerontokrasi sendiri  secara etimologi berasal dari kata geront, yang dalam bahasa Yunani, berarti orang tua atau orang lanjut usia. Geront + kratia berarti keadaan politik dan pemerintahan, ketika yang berkuasa orang-orang yang lebih tua dibandingkan rata-rata populasi dewasa. Istilah gerontokrasi dipopulerkan di Prancis sejak abad ke-19 sebagai kritik terhadap parlemen yang semakin didominasi oleh politisi yang sudah tua dengan perilaku politik patronizing.


Dalam praktiknya gerontokrasi membatasi akses untuk orang-orang yang masih muda pada kekuasaan bahkan sadisnya  ditutup. Dalam praktek  gerontokrasi politik ini  ini, orang tua mengambil posisi sebagai subjeknya sementara orang yang masih muda adalah sebagai objek; atau orang tua sebagai penikmat dan yang muda sebagai korban akibat dari tertutupnya akses.


Banyak masyarakat, komunitas, dan organisasi yang menggunakan cara seperti ini, tanpa kecuali di Indonesia. Banyak organisasi yang membiarkan diri dikendalikan oleh orang yang sudah tua. Kesempatan memimpin lebih terbuka untuk yang sudah berumur. Bahkan sampai dibuat sistem sedemikian rupa, sehingga yang tua tetap sebagai pemegang rezim, sedangkan yang masih muda dipinggirkan terlebih dahulu. Sebagai contoh, pola kepemimpinan di  sejumlah pondok-pondok pesantren bahkan universitas  di Indonesia menjalankan model gerontokrasi ini, dengan model pengendalian di tangan para kyai sepuh yang sudah berumur.


Praktek gerontokrasi di dunia politik dalam peta politik global dapat di lihat kasusnya  di Uni Soviet, Eropa Timur dan Tengah, serta Cina selama pertengahan abad ke-20 bisa diambil sebagai contoh gerontokrasi. Setelah Uni Soviet pecah, dan reformasi terjadi di eks blok negara-negara sosialis/komunis ini, wajah-wajah yang lebih muda mulai menghiasi jajaran pemimpin mereka.


Di Indonesia, setelah reformasi kurang lebih 15 tahun, dirasakan sudah banyak kemajuan. Demokrasi berkembang dengan cepat, dengan sistem pers yang bebas dan sistem multipartai.  Sebenarnya menurut saya, sudah banyak perubahan dalam struk kelembagaan politik, partai dan desain model demokrasi yang telah dilakukan tapi  belum sepenuhnya dapat mengikis fenomena gerontokrasi.


Hal ini dapat terlihat dari masih kuatnya dominasi figur-figur senior yang mengendalikan roda partai, bahkan dijadikan ikon partai. Kondisi inilah yang membuat kultur di partai-partai politik kita tidak banyak berubah sekalipun tuntutan reformasi sudah digulirkan. Akibatnya, skandal-skandal yang melibatkan aktor-aktor politik senior. Harusnya pasca reformasi tahun 1997-1998  kultur politik sudah berubah secara mendasar ke arah yang lebih positif melalui regenerasi dan sirkulasi elite politik yang menyedot banyak kaum muda sebagai tulang punggung partai politik dan demokrasi bangsa.  Gerontokrasi menurut siklus Pollybios akan melahirkan oligarki partai, yakni terbangunnya kekuasaan partai yang proses dan hasilnya dikendalikan oleh segelintir kecil elite partai. 


Keberadaan gerontokrasi dalam politik akan berdampak pada dua hal penting; Pertama, regenerasi politik menjadi terhambat karena tertutupnya ruang untuk kaum muda dalam sirkulasi kepemimpinan. Kedua, trasisi ke sitem politik yang lebih demokratis akan mengalami kesulitan karena watak kaum tua yang koservatif dan anti perubahan. Bahayanya gerontokrasi apabila dibiarkan dan tidak berpegang pada demokrasi yang sebenarnya adalah bahwa keadaan seperti ini dapat dengan mudah memunculkan otokrasi. Otokrasi yang lama, baik pada tingkat nasional maupun lokal, bisa secara diam-diam memicu perlawanan yang bersifat eksplosif yang sangat mungkin bisa menyebabkan terjadinya kerusakan sendi-sendi demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah.


Kesenjangan yang ditimbulkan oleh gerontokrasi akan mengakibatkan konsisi yang tidak sehat bagi partai dan demokrasi. Maka dari itu gerontokrasi seharusnya sudah mulai dikurangi. Maka dari itu dibutuhkan sifat legowo berpolitik dari para politisi yang sudah tua untuk terciptanya regenerasi. Dengan begitu, kita bisa berharap akan ada pembaruan, suasana segar yang lebih sehat dan dinamis pada kehidupan partai politik di Tanah Air. Reformasi konstitusi dan pendidikan politik yang dilakukan secara sistemik di kalangan kaum muda terdidik dan diikuti  oleh partai politik, pemerintah dan parlemen akan mengubah cara pandang, orientasi dan akan menarik lebih banyak partiispasi kaum muda untuk berpolitik.


****


Jumat, 19 April 2024

Arah Baru Geo-Politik Global, Memotret Peluang dan Tantangan



Opini: Dr. Alfisahrin, M.Si

Antropolog Politik, Wadir III Politeknik MFH dan Staf pengajar

pada Ilmu Politik dan Komunikasi Universitas 45 Mataram.


Mataram, Inside Pos,-


Pasca perang dagang sengit antara Amerika dan China baru-baru ini, pandangan masyaraat dunia lambat laun berubah bahwa ternyata kekuatan hegemoni Amerika yang telah bercokol cukup lama secara ekonomi, militer, teknologi  dan politik dapat diimbangi oleh China. 


Martin Jacques (2009)  dalam When China Rules The World bahkan tegas mengatakan bahwa dalam sepuluh dan dua puluh tahun akan datan GDP China akan lebih tinggi  3x  lipat dari Amerika. Fakta ini seolah beririsan dengan bukti bahwa pertumbuhan ekonomi China kini kian meroket dibandingkan dengan Amerika yang justru mengalami decline (penurunan) grafik pertumbuhan. Hal ini cukup mempegaruhi reputasi dan performa politik Amerika di Asia Timur dan Tenggara yang memang secara kultur politik selama ini menjadi kekuatan kunci.


Runtuhnya hegemoni Amerika tidak saja perlahan surut dan mulai redup di Asia melainkan juga terjadi di beberapa kawasan Amerika latin, terutama setelah konflik dan ketegangan panjang Amerika dengan Kuba di era presiden Fidel Castro kemudian disusul oleh Evo Morales di Bolivia dan Hugo Chaves di Venezuela yang menolak dominasi dan kontrol penuh Amerika terhadap negara mereka. 


Pamor Amerika semakin tergerus dan melemah di tengah keras dan kuatnya ambisi Amerika sebagai polisi dunia. Transisi politik nasional Amerika pasca Barrack Obama ke Donal Trump justru makin memperburuk citra global Amerika di mata dunia dan masyarakat internasional. Obama dianggap lebih cakap, kredibel,  inklusif dan ramah dalam menampilkan citra positif,  peran politik, budaya, ekonomi dan politik luar negeri Amerika dibanding Donald Trump di semua kawasan terutama kawasan timur tengah dan Asia.


Presiden Donald dengan gaya politik yang antagonis, anti hispanik, anti imigran, anti islam dan sejumlah citra demagogi lainnya  justru semakin memperburuk reputasi Amerika sebagai negara adi kuasa yang demokratis, egaliter, dan mapan dengan tradisi multikulturalisme. Redupnya hegemoni Amerika di kawasan Amerika latin dan Asia secara politik menciptakan perubahan signifikan dalam peta dan kontelasi kekuatan politik internasional. 


Amerika tidak lagi dianggap sebagai kekuatan politik tunggal dan utama yang utama yang memainkan peran global tetapi ada kekuatan super power lain yakni China selain raksasa Russia di blok timur yang secara diplomatik dan kultur tidak menjalin hubungan dekat dengan Amerika.

Situasi ini menguntungkan posisi politik dan geografi China, Iran, Korea Utara dan India yang membangun aliansi politik dengan Russia dan masing-masing negara menjauh dari Amerika dengan memperkuat soliditas dan stabilitas hubungan multilateral sebagai  kekuatan politik baru di Asia. 


Posisi negara-negara Asia merupakan kawasan potensial dan strategis dengan populasi besar dan sumber daya melimpah sebenarnya merupakan pasar ekonomi, militer, teknologi dan budaya yang empuk bagi industri -industri multinasional-kapitalistik Amerika dan negara eropa  sekutu dekatnya seperti Inggris, Perancis, Jerman dan Italia. Akan tetapi sentimen anti Amerika seolah menyebar luas dari arah Amerika latin hingga Asia sebagai implikasi politik, ekonomi, budaya dan agama atas kebijakan luar negeri Amerika yang tidak adil,  sikap diskriminatif, dan perlakuan sewenang-wenang Amerika terhadap sejumlah negara terutama di kawasan timut tengah seperti Afganistan, Palestina, Suriah, Irak dan Iran.  

 

Kondisi objektif tersebut, menarik untuk dianalisis dalam perspektif geopolitik, Geopolitik sendiri merupakan sebuah terminologi yang semula oleh pencetusnya Frederick Ratzel (1944), diartikan sebagai ilmu bumi politik (Political Geography), istilah geopolitik kemudian dikembangkan dan diperluas lebih lanjut oleh Rudolf Kjellen (1864) dan Karl Haushofer (1869) menjadi Geographical Politic. Konsep geopolitik secara akademis  mengkaji bagaimana faktor -faktor geografis seperti tata letak lokasi, sumber daya alam, struktur wilayah suatu negara  memengaruhi dinamika politik dan strategi negara dalam panggung global. Konsep politik global pada dasarnya tidak terlalu dikenal luas oleh masyarakat sebelumnya  karena mereka lebih familiar dengan istilah politik internasional.


Istilah  politik internasional atau  (inter-nation/antar negara) secara filosofis orang beranggapan bahwa setiap bangsa memiliki kedaulatan sendiri-sendiri dan kekuatan-kekuatan sendiri  yang tidak dipengaruhi oleh bangsa lain.  Meminjam analogi unik  dari Andrew Heywood (2017) bahwa relasi antar negara saat ini seperti sekelompok bola biliar,  ketika ada benturan antara dua negara maka, yang menentukan keputusan dan juga dampak yang dirasakan  adalah dua negara tersebut,  bukan oleh negara lain. Akan tetapi berbeda dalam konsep politik global kekuatan antar negara menjadi faktor penyeimbang yang paling menentukan terjadinya stabilitas secara global. 


Meskipun faktanya negara-negara yang ada di dunia ini tidak ada yang memiliki kekuatan yang berimbang dan sama, Ada negara yang kuat secara ekonomi, ada negara yang kuat secara militer  dan pada dasarnya mampu mengekspansi dan mempengaruhi negara-negara lain yang lemah baik secara langsung dan tidak langsung.

Pada  tahun 1990an geopolitik internasiona[ dapat dikatakan cenderung   mudah ditebak karena bersifal bipolar meminjam istilah Andrew Heywood (2017) karena hanya diwakili oleh dua kekuatan politik global yakni blok barat direpresentasikan oleh Amerika Serikat sedangkan blok timur di wakili oleh Uni Soviet.


Saat ini geo politik global sudah jauh berubah dan semakin kompleks karena kekuatan politik global tidak lagi di hegemoni secara  bipolar  oleh  kekuatan Amerika dan Russia  melainkan sudah  bersifat multi polar. Terutama setelah munculnya  kekuatan-kekuatan politik baru  sebagai pesaing yang diwakili oleh China, India, Iran, dan Korea Utara. Situasi  ini mengancam dan tidak kondusif bagi Amerika karena mempengaruhi dominasi, kontrol  dan hegemoni mereka dalam kepentingan ekonomi dan militer di seluruh kawasan Asia.

Salah satu pertanyaan mendasar, mengapa konsep politik internasional kini bergeser menjadi  politik global, jawababnya karena ada fakta berupa munculnya globalisasi yang  menciptakan perubahan yang signifikan terutama dalam wilayah ekonomi. 


Di mana perdagangan  antar masyarakat di suatu bangsa dengan bangsa  yang lain mampu menembus batas-batas teritori suatu negara. Kita bisa lihat bagaimana satu korporasi global milik Amerika dapat beroperasi di seluruh negara lain. Sehingga mempengaruhi dan dapat menentukan pola interaksi antar negara seperti kebijakan luar negeri dan kebijakan ekonomi. Kemajuan teknologi juga ternyata mempengaruhi pola hidup manusia di muka bumi sehingga bumi ini seperti sebuah desa global dan orang dapat berinteraksi kapan saja melakukan komunikasi bertukar informasi dan ini membuat budaya kita terpapar oleh efek globalisasi.


Hal ini mempengaruhi banyak sekali segmen kehidupan karena gaya kehidupan di satu negara bisa terjadi juga pada negara yang  lain tanpa dapat dikendalikan oleh otoritas pemerintah  di negara tersebut (Heywood, 2017).  Selain itu ada Fakta lain yakni adanya dilema kolektif bahwa faktanya ada isu-isu  yang membutuhkan penyelesaian bersama-sama  tidak bisa oleh hanya satu negara. Misalnya terjadi  bencana di negara lain pasti membutuhkan bantuan dari negara-negara lain. Contoh lain soal dampak  lingkungan yang menjadi persoalan bersama karena bukan hanya satu negara yang dapat merasakan dampak buruknya  melainkan ekologi di seluruh dunia sebagai sebuah ekosistem.


Munculnya globalisasi kemudian memunculkan konsep baru yang dinamakan dengan politik global dan kata kunci dari politik global yakni  adanya ke saling tergantungan. Jadi  tidak ada negara yang berdiri sendiri pada dasarnya  atau merdeka bebas dari pengaruh negara lain karena globalisasi telah mempengaruhi aspek ekonomi, politik, dan budaya dan variabel kehidupan . Dalam politik global  perubahan apapun yang terjadi dalam suatu negara akan menciptakan pengaruh terhadap negara lain. 


Jadi, semua negara tidak lagi dapat secara total mengandalkan otoritas dan kemandirian yang tunggal melainkan satu sama lain terhubung sebagai inter-nation yakni hubungan  antar negara.  Semua lapisan dan struktur kehidupan sosio-politik  meski terhalang jarak geografis, budaya, ekonomi , hukum dan agama  tetap terintegrasi pada suatu  sistem dan  tata aturan politik dan ekonomi global yang dikendalikan oleh negara-negara kuat. 


Abad 21 dan Perubahan Geopolitik Dunia

Memasuki abad 21, beberapa tahun pasca runtuhnya raksasa  komunis Uni Soviet, politik dunia masih berada dalam hegemoni Amerika Serikat sebagai global superpower. Namun,  analisis politik kawakan Noam Chomsky, menegaskan bahwa kapasitas dan hegemoni Amerika serikat pada hakikatnya sudah mengalami kemerosotan bahkan sejak beberapa tahun setelah perang dunia II. Chomsky, menunjukan bukti dengan berkurangnya pengaruh dan hegemoni AS di Asia pada masa perang dingin dengan lepasnya Tiongkok dan Asia Tenggara.


Pendapat Chomsky mengenai tidak adanya kekuatan global yang akan menjadi pesaing Amerika dalam politik dan ekonomi dunia, tentu bisa debatable.  Kemucunculan negara-negara yang secara terbuka resisten melawan kebijakan  politik luar negeri Amerika seperti Bolivia, Kuba, Venezuela di Amerika latin. Secara geo-politik mempengaruhi upaya-upaya Amerika dalam menjaga dominasi, aliansi dan soliditas sekutu-sekutu politik, militer dan ekonominya di kawasan Amerika latin.  Demikian pula dengan kehadiran China dan Korea Utara  di Kawasan Asia Timur,  dan India Asia Selatan mereduksi dan membayang-bayangi popularitas kekuatan politik Amerika dalam mengontrol dan menancapkan pengaruh di negara-negara kawasan Asia.


Perubahan peta dan struktur politik global ini, terjadi sebagian menurut saya karena Amerika cenderung memainkan peran-peran dan watak yang antagonis, menciptakan standar ganda dan kontra produktif terutama dalam kebijakan politik luar negerinya yang tidak adil di banyak negara.  Sebut saja  dalam isu Palestina, Irak, Iran, Suriah. 


Dalam kasus pelik dan tragis pembantaian warga sispil Palestina, Amerika secara politik dan militer terang-terangan memihak zionis Israel. Di sisi lain, Amerika   secara regular tidak mau kehilangan pengaruh di kawasan negara-negara Arab dengan  tetap bermain dalam konflik-konflik sektarian di kawasan teluk. Kepentingan global mereka terhadap minyak dan bisnis senjata di kawasan Timur Tengah yang sarat konflik menjadi alasan mengapa Amerika tetap sulit menjadi negara kuat yang memainkan peran dan posisi netral dalam banyak isu domestik negara-negara di dunia.

BRICS Kekuatan Politik dan Ekonomi Baru, Penantang dan Pesaing Amerika.


Adanya hegemoni dan aksi pertunjukan superioritas tunggal Amerika sebagai polisi dunia memicu banyak negara menjaga dan mengambil jarak menjauh dari Amerika dan membentuk aliansi dan poros kekuatan baru. Sebut saja China, Iran, dan Korea utara yang lebih dekat kepada Russia ketimbang Amerika baik dalam kepentingan politik, ekonomi dan militer. Munculnya BRICKS akronim dari  Brasil, Russia, India, China, South Africa yang bentuk pada tahun 2001 oleh Goldman Sachs dan Jim O’neil yang melihat potensi pertumbuhan di Brasil, Rusia, India dan Tiongkok sebagai upaya membantu negara-negara berkembang dalam berbagai bidang seperti militer, ekonomi, teknologi, dan hubungan diplomasi antar negara.


BRICK menurut saya berperan strategis  dan vital  sebagai sebuah representasi kekuatan geopolitik dan geoekonomi baru yang menjadi saingan bagi blok Amerika dan Eropa di barat. Hal ini bukanlah sesuatu yang patut dikhawatirkan, justru perlu diapresiasi. Dengan semakin banyaknya kekuatan politik dan ekonomi dunia, atau dalam artian tidak berpusat pada satu kekuatan saja, maka multirateralisme dan egalitarianism dalam ekonomi-politik global akan semakin mudah tercapai. BRICS akan menjadi blok kekuatan yang menegaskan bahwa kekuasaan ekonomi dan politik tidak bisa terus-terusan dipegang oleh Amerika dan sekutunya. Meskipun Saya sepakat apa yang dikatakan  oleh Chomsky bahwa tidak ada, atau katakanlah belum ada, suatu negara berdaulat yang sepenuhnya dapat  mengimbangi Amerika baik dari segi hegemoni politik maupun ekonomi. 


China misalnya, yang walaupun pertumbuhan ekonomi dan pengaruh geopolitiknya luar biasa pesat namun sampai dengan saat ini masih belum bisa mengungguli hegemoni Amerika Serikat.

Kendati demikian, dalam kenyataannya Amerika tetap menjadikan China sebagai musuh utamanya dalam perebutan hegemoni politik dan ekonomi, sehingga relasi Amerika dan China kerapkali tegang dan  diwarnai konflik yang sengit terutama di bidang perdagangan. Bahkan, beberapa analis mengatakan bahwa konflik AS-China  ini sebagai babak baru  perang dingin jilid dua. Belum adanya negara yang mampu mengungguli ‘kebesaran dan kedigdayaan ’ Amerika dalam politik dan ekonomi dunia, menjadi tanda tanya banyak pihak, apakah ini berarti bahwa kekuasaan Amerika tidak tergantikan? Tentu saja jawabannya tidak. 


Apabila suatu negara belum ada yang mampu mengungguli Amerika, kuncinya adalah membangun suatu koalisi ekonomi-politik yang solid untuk menjadi kekuatan atau blok politik baru yang mengungguli Amerika. Karena tentu saja, siapa yang bisa mengelak, bahwa Amerika pun senantiasa melakukan manuver politik untuk menjalin kerjasama dengan negara lain untuk mempertahankan kekuatan dan dominasi politiknya. Sebagaimana menurut Chomsky, meski hegemoni AS sudah merosot, tetapi ambisinya belum pudar. Perlunya dibentuk sebuah aliansi politik-ekonomi untuk menjadi sebuah blok kekuatan politik baru dalam geopolitik dan geoekonomi dunia.


Blok politik ini dimaksudkan guna menggugat dan menghapuskan sistem politik internasional yang unilateralisme dan menggantinya dengan multilateralisme. Tidak bisa dan tidak boleh seharusnya, apabila Amerika menjadi satu-satunya adidaya dunia yang bisa jadi menjadi pengendali politik dan ekonomi dunia. Multilateralisme akan merekonstruksi sistem politik internasional menjadi lebih egaliter, inklusif, dan adil bagi semua bangsa. 


***

Senin, 04 Maret 2024

Wabah Poltik Uang dan Dinasti Politik di Negara Asia Tenggara

 

Dr. Alfisahrin, M.Si

Penulis: Dr. Alfisahrin, M.Si

Antropolog Politik. Wakil direktur III Bidang kemahasiswaan dan aumni di Politikenik Medica Farma Husada Mataram. Staf pengajar di Fisipol dan Ilmu Komunikasi Uversitas 45 Mataram.


( Menyoal Otoritarianisme sipil dan  dinasti politik, Bom waktu Kehancuran  Demokrasi)


A. Stagnasi  dan Otoritarianisme Sipil di Asia Tenggara

Secara umum demokrasi di Asia Tenggara tengah menjadi sorotan tajam dan perbincangan luas karena terjadi  stagnasi demokrasi, ditandai dengan meningkatnya otoritarianimse sipil, politik uang, dinasti politik  dan menjamurnya Politik dinasti. 


Kawasan Asia Tenggara yang membentang dari Thailand, Malaysia, Singapura, Philipina dan Vietnam, dan Kamboja. Barisan negara-negara ini belum sepenuhnya memiliki kapasitas dan kemampuan menjadi salah satu role model dari praktek demokrasi modern yang akuntabel, profesional dan fair seperti di negara lain. 


Dilihat dari kelembagaan partai politik, regulasi pemilu , partipasi publik, dan kapasitas institusi penopang demokrasinya. Terlihat masih rapuh dan rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Meskipun negara-negara tersebut, telah lama merdeka. Kenyataannya seperti Malaysia,Thailand dan Indonesia, masih terjebak dan terbenam makin jauh pada isu-isu populisme receh seperti  politik identitas dan politik dinasti yang  secara etikal merusak spirit kebebasan dan pembebasan yang menjadi cita perjuangan demokrasi. 


Pemberangusan kelompok penekan (pressure group) dan oposan yang kritik terhadap kekuasaan di negara Asia Tenggara termasuk Indonesia menjadi peringatan keras bahwa pemimpin sipil pun yang terpilih dengan cara demokratis dapat menjalankan kekuasaan dengan cara otoriter. Pembubaran Hizbur Tahrir Indonesia dan FPI tanpa proses pengadilan menjadi bukti bahaya dari otoritarian sipil yang dapat menghambat kemajuan demokrasi dan kebebasan berekspresi kelompok  sipil.

 

Situasi ini diperparah lagi oleh budaya politik uang dan dinasti di negara-negara Asia Tenggara yang  makin subur terutama di Indonesia, kondisi kehidupan politik dan demokrasi sangat memprihatinkan. tidak ada rasa malu lagi, uang beredar bebas di arena pemilu memasuki pintu-pintu rumah, kamar, kampung dan bahkan bilik suara pemilih. Sudah hilang keluhuran budaya bangsa, sudah mati akal sehat, tidak berguna lagi  ilmu sebagai parameter baik buruk. Lebih ironisnya lagi,  agama pun sebagai pandangan hidup, pedoman perilaku dan petunjuk hidup yang lurus, seolah beku dan seketika mati suri menjadi fosil tak berdaya di arena pemilu. 


Kesaktian ilmu, akal budi dan kesakralan agama memimjam istilah antropolog Evan Pitchard. Sia-sia tidak sanggup mencegah perilaku politik uang yang barbar. Harga diri manusia turun dititik nadir dalam pemilu dan dari pemilu ke pemilu karena dari ujung kepala sampai kaki konstituen dapat dengan mudah dibeli dengan uang. Tidak ada lagi kejujuran hati, kemuliaan diri, kehormatan manusia, prinsip hidup dan harga diri sebagai  homo sapiens atau insanul kamil (manusia cerdas/sempurna).  semua atribut simbolik manusia seperti pengaruh, jumlah anggota keluarga, dan pengikut punya harga dan nilai rupiah. Dalam pemilu kuantitas orang dan kualitas orang  ikut miliki angka dan harga. Jasa dan simbol apapun  serba ikut laku  dan laris tereksploitasi dalam pemilu presiden dan pileg di negara kita.

 

Harusnya Identitas manusia sebagai makhluk politik yang berakal (zoon politicon)  serta rasional meminjam istilah Filsuf Yunani Aristoteles tidak boleh terjual dan tergadai murah oleh pasar uang receh politisi. Pemilu sebagai mekanisme rotasi kekuasaan menurut Samuel Huntingt0n(1993) harus menjadi momentum memilih pemimpin yang kredibel. Anehnya pemilu kita direduksi makna dan  nilainya menjadi politik bagi-bagi uang dan transaksi bansos bukan pertentangan ide dan gagasan yang deliberatif (membebaskan) publik dari kemiskinan, ketertinggalan, dan kesenjangan ekonomi. Nyatanya yang terjadi di lapangan, aktor dan pemilih di arena  pemilu  tidak lagi bicara lantang soal ide, program, gagasan. Keduanya, malah sama -sama ikut mabuk fantasi kekuasaan dan  rela singkirkan etika dan nilai sebagai peradaban politik. 


Hilangnya nilai-nilai kebaikan demokrasi sebagai public virtue (kebajikan bersama dan sebagai fatsoen politik menjadi pertanda kita telah berada di era matinya nilai yang dinamakan  oleh Filsuf kenamaan Jerman Frederick Nietzhe sebagai ‘ Nihilisme ‘.

 Realitas politik saat ini, tidak lagi diilhami oleh kecukupan pengetahuan, kesadaran logis, dan dibimbing oleh etika yang menjadi semacam agama bagi demokrasi. Jacques Rosseau pemikir demokrasi kenamaan Perancis bahkan menekankan pentingnya keutamaan kecerdasan dan ketinggian ilmu sebagai syarat mengelola negara. Pemimpin harus orang yang paling pintar diantara kamu ujarnya. Oleh karena itu, pemilu sudah saatnya menjadi titik balik yang fundamental untuk memilih pemimpin dan negarawan  berkualiatas.  Supaya nilai-nilai utama dari cita demokrasi yakni pemerintahan yang bersih, keadilan, kebebasan, kesetaraan, persaudaraan dan kesejahteraan benar-benar nyata dapat diwujudkan. 


Jadi bukan hanya janji dan retorika politisi ketika  musim pemilu tiba.    Saya menyaksikan sendiri  di pemilu 14 Pebruari  2024, proses pemilu belum mengalami proses transformasi yang mendasar. Belum ada pergeseran orientasi dan paradigma masyarakat soal pemilu. Pemlu presiden dan pileg tidak dilihat sebagai evaluasi dan seleksi pemimpin yang baik dan transformatif. Meski banyak calon yang tampil di level nasional, regional dan lokal dengan gagasan, visi, integritas dan intekeltualitas mumpuni. Belum cukup laku dipilih baik karena alasan tidak punya uang untuk beli suara maupun karena alasan popularitas yang minim.


Pemilih lebih menyukai caleg-caleg berkantong tebal, meski minim kapasitas ilmu dan pengetahuan tetapi mereka berani belanja suara. Demi berharap serangan fajar   tidak ada ikatan keluarga yang akrab, hubungan sosial yang tulus, jasa dan modal sosial yang saling diingat. Interaksi dan relasi sosial sudah ikut berubah menjadi serba politis.  Ketika pemilu tiba     keluarga, teman, sahabat dan orang sekampung juga harus dibayar oleh caleg agar dapat suara dan dukungan politik. Nyaris tidak ada lagi kebaikan sebagai sesama manusia yang tersisa selain kegilaan terhadap uang. Kegilaan-kegilaan yang terjadi dalam politik ini, menjadi dasar Filsuf Bertrand Russel ikut menamakannya sebagai ‘ kegilaan peradaban modern’. Sulit ditemukan orang jujur, amanah dan dapat dipercaya saat pemilu. 


Pemain (aktor), penyelenggara dan masyarakat pun sama-sama ikut bermain gila sehingga tidak jelas lagi, siapa mengawasi siapa,  apa, dan bagaimana. Rambu dan regulasi hanya menjadi pernak Pernik pelengkap  pemilu saja. Tidak ada aturan yang sunguh-sungguh ditegakan, kalaupun supremasi hukum ditegakan terkait pelanggaran pemilu biasanya hanya berlaku kepada lawan politik yang berseberangan bukan kepada kelompok dominan  seperti petahana berkuasa, kerabat  serta kelompoknya yang menguasai basis, jaringan dan sumber daya kekuasaan.

Situasi ini berdampak pada runtuhnya kredibilitas  jalannya pemilu karena pasti setiap terjadi pelanggaran pemilu oleh klan yang berasal dari dinasti politik tertentu  seperti kecurangan, i-netralitas, dan penggelembungan suara selalu berakhir dengan kompromi, akomodasi, dan transaksi di belakang meja.  (silakan dibantah).   Akibat dari buruknya kualitas penyelenggaraan pemilu yang terjadi, tidak heran Indonesia berada di peringkat ketiga sedunia dalam hal banyaknya politik uang (buying voters). 


Negara kita hanya kalah dari Uganda, dan Benin. Secara akademis fakta menunjukan bahwa pengaruh politik uang terhadap pemilu relatif  kecil, yaitu sekitar 10 persen. Namun politik uang dianggap sebagai penentu kemenangan kandidat. Itu sebabnya politik di seluruh Kawasan Asia dilakukan untuk mengatasi winning gap ( jarak untuk menang) dari competitor.  Alasan ini menjadi petaka yang menyebabkan praktek politik uang (masih  mengakar kuat mencengkram gagasan keterbukaan, kebebasan, kesetaraan dan keadilan yang diusung sebagai nafas panjang perjuanagn demokrasi.

Demokrasi yang dijalankan di negara-negara  Asia Tenggara terutama di Indonesia dan Philipina gejala politiknya nyaris sama dapat dilihat dari bangkitnya klan dan dinasti politik baru setelah rezim Soeharto yakni dinasti Jokowi, Megawati, dan SBY. Ketiga klan dan trah politik ini justru menemukan momentum dan mengalami kontraksi politik dengan menumpang pengaruh  besar kekuasaan  Presiden Jokowidodo. Penunjukan AHY sebagai Menteri di cabinet Jokowi setelah 10 tahun menjadi oposan, tak ayal menegaskan adanya akomodasi dan upaya sistematis untuk menjaga hegemoni dan dominasi lewat rezim. Serangkaian manuver politik di Mahkamah konstitusi dan penggembosan partai PDIP oleh Presiden Jokowi yang meloloskan Gibran dan mempecundangi Ganjar Pranowo yang diusung resmi PDIP.

 

Fenomena bangkitnya politik dinasti juga terjadi di negara Asia Tenggara lainnya yakni Philipina   Kemenangan Bongbong Marcos di Philiphina menegaskan ketatnya pertarungan politik klan Marcos dan Rodrigo Duterte keduanya merupakan anak mantan presiden Philipina sebelumnya. Fenomena politik keluarga di Philipina sangat kuat serupa dengan Indonesia, Thailand dan juga Malaysia. Hubungan politik yang didasari oleh ikatan-ikatan kekerabatan tentu cukup problematik dan negara-negara di Kawasan Asia Tenggara secara historis terutama Philipina dan Indonesia tampaknya kesulitan untuk melepaskan diri dari belenggu dan jerat politik dinasti. Walaupun melalui pemilu yang relatif demokratis , keluarga politik besar tetap memenangkan pemilu. Fenomena serupa pun bisa kita amati bagaimana kemegahan dinasti politik di Indonesia sebut saja  trah politik Soekarno melalui Mengawati Soekarnoputeri-Puan Maharani di PDIP, Soesilo Bambang Yudoyono dan AHY di Partai Demokrat. 


Perlawanan sengit terhadap politik dinasi dan dinasti politik di Indonesia marak sekali dilakukan     melalui aksi demonstrasi dan protes oleh public rasanya belum mempan menyingkirkan parasit politik dinasti di era demokrasi modern.

Padahal politik dinasti akan menjebak dan menjeremuskan kepada pembentukan  kekuasaan patrimonialistik. Di mana, kekuasaan diatur, dikuasai dan dikendalikan oleh segelintir anggota-anggota keluarga.  Dinasti politik yang tengah berkuasa di Indonesia misalnya  membungkam kritik  publik lewat serangkaian tindakan teknokratis dan struktural kekuasaan untuk membungkam suara publik, oposisi dan lawan politik. 


Para ahli seperti Aspinal menyebut situasi politik di Asia Tenggara  umumnya masih menunjukan kecenderungan yang mengarah kepada otorianisme sipil yang canggih. Hal ini mengingatkan saya kepada Steven levitski dalam how democracy die yang menegaskan bahwa diantara tanda dari lonceng dan alarm kematian demokrasi adalah terpilihnya pemimpin-pemimpin  ‘sipil’ dengan cara-cara demokratis tetapi mereka berwatak otoritarian. 


Bisa kita lihat contoh kediktatoran komunis di Vietnam dan kamboja, rezim Polpot membunuh jutaan rakyat sipil dalam killing field tanpa belas kasih kemanusiaan dan  nalar logis.  Hal serupa juga mirip terjadi  di Singapura yang pro Status Quo dengan sistem pemerintahan satu partai, dan kediktatoran monarki  di Thailand dan militer  Myanmar yang tega melakukan genosida sadis kepada jutaan  etnis Rohingya. Kenyataan pahit lain bahwa seteah 78 tahun merdeka dan reformasi tahun 1998 praktek buruk demokrasi berbasis patronase di Indonesia dan Malaysia masih kokoh dan tangguh bercokol meski gelaran pemilu demokratis telah berulang kali dilakukan.

 

Demokrasi di Asia tenggara tidak akan pernah berdidi kokoh dilihat dari keadaan dan lintasan politik elektoral justru menghadapi era kemunduran baru lihat saja di Philipina, presiden Rodrigo Duterte telah merusak tatanan peradilan dan memberangus  oposisi. Fenomena ini mirip dengan yang terjadi di Indonesia demi alasan dinasti politik dan politik dinasti mahkamah konstitisipun disalah gunakan untuk meloloskan Gibran rakabuming putra Presiden Jokowi. 


Suara-suara kritis publik dan akademisi pun di hampir 70 universitas besar dan terkemuka dianggap oposan dan Tendesius.  Jika di Laos, Kamboja, Brunei dan Vietnam  tidak tanda reformasi berbeda dengan di indonesa reformasi sudah dilakukan untuk memberangus aneka kolusi, nepotimse, korupsi dan otoritarianisme. Mirisnya politik dinasti, kolusi dan korupsi justru marak membudaya seolah menemukan lahan baru untuk bertumbuh subur pasca reformasi dan pemilu 2024.


Kita bisa lihat  bagaimana stagnasi dan kehancuran demokrasi di Indonesia telanjang terjadi. Tidak ada lagi etika, budaya,  kejujuran, bahkan agama yang memandu arah jalannya politik dan demokrasi. Politik uang, konspirasi, kecurangan dan penyalagunaan kekuasaan nyata adanya,  mobilisasi birokrasi dari presiden, menteri gubernur, walikota, bupati, aparat  hukum bahkan di tingkat mikro kepala sekolah dan oknum guru-guru ditekan, diarahkan dan diancam mutasi demi muluskan jalan serta ambisi politik dinasti meraih kekuasaan.  


Penurunan kualitas demokrasi nyata terjadi menggurita dan menyebar luas menjadi perilaku banalitas (umum/biasa) meminjam istilah Hannah Arrendt.  Saya mencoba menghubungkan gejala  masif dan sistemiknya praktek politik uang di Indonesia dengan praktek culas dan curang yang sama di sejumlah negara Asia Tenggara untuk menemukan akar dan sumber persoalan utama yang sama. Thailand misalnya setelah partai pendukung petahan, Palang Pracharat Partai , keluar sebagai peraih suara terbanyak. Sejumlah kecurangan ditengarai terjadi seperti surat suara tidak dihitung, angka kehadiran yang rendah dan politik uang.

B. Faktor-Faktor Muculnya dinasti Politik

 Jika politik uang mewarnai penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia fakta yang mencengangkan sama juga terjadi di sejumlah negara Asia Tenggara. Sebut saja Filipina, Malaysia, Thailand, dalam pelaksanaan pemilihan umumnya banyak ditemukan konspirasi, kecurangan, penghianatan dan praktek politik uang. Pada empat negara  yang saya sebut, menunjukkan bahwa banyak kemiripan pola dalam pelaksanaan politik uang dalam pemilu  Misalnya serangan fajar di Indonesia juga dijumpai di Thailand dengan istilah The night of the barking dogs. Sementara di Papua Nugini hal tersebut dikenal sebagai Evil Night malam setan. Jadi Politik uang merupakan fenomena yang tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di beberapa negara Asia Tenggara. (hasil Riset, Edward Aspinal, 2023 Democracy for sale).


 Politik uang makin mengganas dan menggila usai orde baru dampak dari gagalnya negara menghadirkan kesejahteraan bagi publik serta  lemahnya kontrol masyarakat sipil terhadap penyelenggaraan negara.


Kuat dan besarnya hegemoni kekuasaan dinasti politik di Indonesia hampir sama dengan Vietnama, Malaysia dan di Philipna, gejalanya disebabkan oleh pertama, mahalnya biaya politik yang menghambat dan membatasi ruang gerak politisi potensial non-klan seperti akademisi, profesional dan praktisi untuk bertanding dalam kompetisi politik elektoral yang setara. Berbeda dengan anggota klan politik tertentu biasanya didukung oleh keku atan modal, jaringan pemodal, dan anggota keluarga lain yang sudah duduk dijabatan-jabatan politik strategis.  Sehinga dengan mudah dapat melakukan konsolidasi, akomodasi dan mobilisasi organ-organ birokrasi, ormas, dan elite sosial-agama. Variabel kedua,  baik di Indonesia maupun Philipina dan Kawasan Asia Lainnya umumnya bantuan klan politik kepada anggotanya yang berkompetisi bukan hanya berbentuk uang melainkan akses, jaringan dan pengaruh yang dapat dikonversi menjadi suara.

Sejumlah variabel politik dapat menjadi alasan fundamental terhadap maraknya dinasti politik muncul di beberapa negara Asia Tenggara secara khusus di Indonesia. Beberapa alasan dapat menjadi sebab kronis, mengapa politik dinasti bisa merebak luas. Beberapa diantaranya seperti besaran wajib ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang harus mencapai 20 persen kursi atau 25 persen suara sah, berkontribusi terhadap kemungkinan munculnya politik dinasti atau kekerabatan. 


Tingginya besaran ambang batas membuat akses pencalonan dalam proses pilkada menjadi terbatas hanya kepada segelitir elite klan, trah dan dinasti poltik tertentu yang memang sudah padat modal,  pengaruh dan akses politik. Demikian juga dengan dipresulitnya syarat calon perseorangan untuk maju dalam pilkada menjadi penyebab munculnya dinasti politik. Padahal keberadaan calon perseorangan  dinilai penting untuk menghadirkan calon alternatif. Akhirnya akses politik menjadi sempit dan terbatas hanya pada kelompok tertentu.Faktor lain tentu karena mahalnya biaya politik juga ikut berkontribusi menghadirkan politik dinasti dan politik uang dalam jual beli tiket pencalonan.  Rendahnya kesadaran masyarakat dalam mengevaluasi politik dinasti turut memperparah dan membuka kases yang lebar bagi mucul dan bertahannya dinasti politik di sejumlah daerah dan negara di Asia Tenggara.


C. Problem pemilu di Indonesia

Saya berharap dengan terpuruknya praktek demokrasi di Asia Tenggara dan secara khusus di Indonesia mendorong perlunya kerjasama internasional baik bilateral dan multilateral untuk membalikan keadaan. Tentu dalam isu demokratisasi, peningkatan kapasitas partai politik, penyelenggara pemlu, Pendidikan politik, partiisipasi publik dan akses terhadap regulasi pemilu. Mengapa ini penting dilakukan karena jika kita melihat desain dan arsitektur penyelenggaraan pemilu kita. Seolah sengaja dirancang dengan sejumlah celah hukum ( yuridis) dan antropologi. 


Pertama, harus diakui jujur bahwa sistem rekrutmen penyelenggara pemilu dari bawaslu pusat hingga daerah dilakukan secara formalitas dan berjalan secara politis. Tidak ada rigiditas (ketetatan) misalkan semua pelamat tidak ada verifikasi linearitas kelimuan, pengalaman kepemiluan, pengetahuan kepemiluan dan gagasan mutakhir tentang model penyelnggaraan pemilu yang ditawarkan sebagai alternatif solusi jika pemilu berjalan tidak sesuai harapan. Oleh karena itu, idealnya penyelenggara pemilu seperti bawaslu dan kpu di semua tingkatan harus memiliki pengetahuan dasar tentang hukum karena persoalan pemilu adalah soal hukum. Pemiliu bicara tentang regulasi, kontestan diatur rambu hukum, pelanggaran ditindak secara hukum, kampanye diatur hukum, pemasangan baliho harus sesuai aturan hukum, tahapan pemilu berjalan menurut hukum, sosialisasi harus indahkan ketentuan hukum, pemungutan suara ulang (PSU) juga ada alas hukum. Jadi bisa dibayangkan kompleksnya tantangan pemilu baik dari sisi aturan maupun implematsinya di masyarakat jika komisioner bawaslu dan KPU hanya yang amatiran. 


Persoalan kedua, bukan rahasia umum jika penyelenggara pemilu rata-rata orang titipan partai politik tertentu. Ada sejumlah akademisi, praktisi dan profesional lain yang ikut seleksi tetapi tanpa sowan atau rekomendasi ketua partai politik dapat dipastikan sulit lolos. Apalagi di level penyelenggara tingkat provinsi dan kabupaten selain rekomendasi oknum-oknum ketua partai politik di daerah harus juga diamankan oleh partai-partai di pusat yang berkepentingan untuk menitipkan orang dalam di internal penyelanggara pemilu. Inilah akar persoalan yang menyingkirkan aspek dan prinsip profesionalitas dalam menjaring penyelenggara pemilu yang kredible, imparsial, fair dan intelektual.


Pikiran saya mungkin terkesan utopis dan ideal tetapi sampai kapan proses-proses politik yang tidak fair ini dibiarkan berjalan tanpa upaya evaluasi dan pengawasan kritis publik. Dari pemilu ke pemilu integritas penyelenggara pemilu yang direkrut dengan cara -cara politis dan tranksaksional telah membawa impliaksi buruk. Penangkapan sejumlah oknum komisioner bawaslu  karena korupsi di pusat dan  daerah bahkan menyebar sampai di kecamatan-kecamatan  makin memperkeruh suasana batin publik yang berulang kali keceawa karena ternyata wasit pemilu yang harusnya menjaga kejujuran, kerahasiaan, kebebasan dan kelangsungan pemilu juga  ikut bermain di arena kontestasi.


Persoalan ketiga, soal data pemilh yang amburadul dan integritas penyelenggara pemilu yang rendah. Sulit menghasilkan pemilu yang berkualitas jika penyelenggara pemilu tidak memiliki cukup integritas. Sering kali aroma konspirasi di setiap pemilu menghangat dibicarakan publik bahkan santer terdengar menyeruak di publik.


Jika caleg inginkan banyak suara maka, bisa bermain mata dengan membeli suara sisa/lebih dengan oknum penyelenggara pemilu. Salahkah jika praktek ini marak dan meluas berulang-ulang terjadi. Jawabanya bisa realtif beragam tergantung dari dan disudut mana kita lihat dan berdiri. Jika dilhat dari pola rekrutmen tentu bisa dimaklumi mereka jadi calo suara untuk oknum partai tertentu dan tokoh tertentu karena ada konpensasi dan hutang budi yang harus dibayar kembali karena mereka terpilih sebagai penyelenggara karena jual nama besar partai, kharisma dan pengaruh tokoh partai, dalam politik ini di disebut dengan (trading influence).

Mereka hanya setia kepada partai dan ketua partai. Kerja-kerja kepemiluan dan tugas-tugas pengawasan cenderung dilakukan secara normatif gugurkan kewajiban. Dari pusat sampai daerah penyelenggara pemilu direktur untuk memudahkan dan melancarkan jalannya pemilu tetapi karena dari awal direkrut, ada konflik kepentingan menyeret mereka ke dalam arus kepentingan partai politik yang menitipkan. Sehingga jika terjadi pelanggaran pemilu baik penggelembungan suara, curi start kampanye dan politik uang jarang tuntas diatasi oleh penyelenggara pemilu. Apalagi kalau menyangkut partai besar, partai penguasa dan ketua partai. Jika kondisi ini berlanjut maka, politik dinasti dan dinasti politik akan terus bertambah tumbuh dan berkembang secara pesat di Indonesia dan akan menyebar di seluruh daerah. Maka, akan merusak etika, tatanan dan fungsi demokrasi yang mementingkan adanya sirkulasi elite yang ada dan distribusi kekuasaan yang adil. Politik dinasti dan dinasti politik adalah parasit yang setiap waktu dapat menjadi bom waktu yang memberangus demokrasi dan prinsip-prinsip yang diperjuangkannya.


*****